Kamis, 08 November 2018

KESAKSIAN SEORANG WANITA

di November 08, 2018 0 komentar


MAKALAH
“KESAKSIAN”
 
OLEH:
KELOMPOK IX
ELLA MIANTI   (170202010)

DOSEN PENGAMPU: Hj. ANI WAFIROH M. Ag,.

FIKIH NISA’ JURUSAN AKHWAL AS-SYAKHSIYYAH, FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2018


KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami panjatkan puja dan puji syukur atas rahmat dan ridho Allah SWT.karena tanpa rahmat dan ridho-Nya,kami tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Hj. ANI WAFIROH M.Ag selaku dosen pengampu “Fikih Nisa’” yang membimbing kami dalam pengerjaan tugas makalah ini. Kami jugmengucapkan kepada teman-teman kami yang selalu setia membantu kami dalam hal mengumpulkan data-data dalam pembuatan makalah ini.
Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang “Kesaksian” Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui. Maka dari itu kami mohon saran dan kritik dari teman-teman maupun dosen demi tercapainya makalah yang sempurna.

Mataram, 19 Oktober 2018

Penyusun











DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................2
DAFTAR ISI.....................................................................................................3
BAB I PENDAHALUAN
           A.    Latar Belakang.......................................................................................4
           B.     Rumusan Masalah..................................................................................4
           C.     Tujuan.....................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN
           A.    Kesaksian................................................................................................5
           B.     Dasar Hukum kesaksian..........................................................................5
           C.     Syarat-syarat memberikan kesaksian......................................................6
           D.    Waktu di terima kesaksiannya kaum wanita............................................8
           E.     Kesaksian Kaum Perempuan....................................................................8
BAB III PENUTUP
SIMPULAN..........................................................................................10
DAFTAR ISI........................................................................................................11










BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Diantara  isu  yang  sering  menjadi  bahan  perdebatan  berkaitan dengan kedudukan perempuan didalam Hukum Islam adalah permasalahan kesaksiaan kaum perempuan. Pemahaman yang tersebar luas selama ini di kalangan  masyarakat  muslim  adalah  bahwa  nilai  kesaksian  perempuan  separoh kesaksian laki –laki sebagaimana termuat dalam berbagai kitab fikih maupun tafsir. Pemahaman yang seperti  itu tampaknya  saat  ini  banyak  menuai  kritik,  karena seolah-olah menempatkan  posisi  kaum  perempuan  lebih  rendah  dari  pada  kaum laki-laki. Akibatnya, banyak tudingan  terhadap  Islam  sebagai agama  yang diskriminatif terhadap kaum perempuan. Pemahaman demikian menarik untuk dibahas karena secara tidak langsung hal itu sama dengan memposisikan laki -laki di atas perempuan atau dengan kata lain derajat perempuan berada di bawah laki -laki. Dalam menanggapi hal ini kita perlu pahami dengan baik dan juga dengan metode berfikir yang benar. Dalam diskursus pembaharu atau kelompok muslim progresif, hal ini di butuhkan pembacaan ulang terhadap konsepsi bahwa nilai kesaksian perempuan separoh kesaksian laki-laki. Dengan demikian, dapat diketahui kemungkinan pembaharuan terhadap pemahaman tentanb kesaksian perempuan dalam hukum islam.

       B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud dengan kesaksian?
2.      Bagaimana Dasar Hukum memberikan Kesaksian.?
3.      Apa saja syarat-syarat untuk menjadi seorang saksi?
4.      Kapan kesaksian wanita diperbolehkan?
5.      Bagaimana hukum kesaksian  kaum wanita?

        C.    Tujuan
1.      Mengetahui maksud dari kesaksian
2.      Mengetahui dasar hukum dari kesksian
3.      Mengetahui syarat-syarat saksi
4.      Mengetahui waktu diperbolehkannya kesaksian wanita
5.      Mengetahui Hukum kesaksian untuk kaum wanita

BAB II
PEMBAHASAN
      A.    Pengertian Kesaksian
Kata kesaksian berasal dari kata “saksi” yang berarti orang yang memberikan keterangan-keterangan di hadapan hakim umntuk kepentintingan terdakwa atau pendakwa, atau orang melihat peristiwa serta orang yang di turutkan dalam suatu perjanjian.[1] Sedangkan kesaksian dalam al-qur’an di sebut Wastasyhadu dan syahidaini yang berasal dari kata syahida. Kata syahida di dalam kamus bahasa arab berarti menyaksikan,, persaksian, kesaksian, dan juga berarti menyaksiakan dengan mata kepala. Pada kamus karangan Mahmus Yunus kata syahida berarti menjadi saksi (disisi hakim). Jadi pengertian dari kesaksian adalah seseorang yang menjelaskan dengan jujur  tentang apa yang telah di lihat atau di dengarnya.[2]
 

      B.     Hukum Kesaksian
Hukum pemberian kesaksian ini adalah fardu ‘ain bagi orang yang mengembannya, jika ia di tuntut untuk memberikan kesaksian dan menjadi wajib jika di khawatirkan akan hilangnya kebenaran.
Allah Berfirman dalam Al- Qur’an Surah Al- Baqarah :283
 “Dan janganlah kalian (para saksi) menyembunyikan kesaksian. Barang siapa menyembunyikannya, maka sesungguhnya dia yang berdosa hatinya. (Q.S Al- Baqarah :283)”[3]
Dijelaskan pula dalam surah Ath-Thalaq : 2
“Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksia itu karen Allah.” (Q.S Ath-Thalaq:2)
selain di jelaskan dalam Al-Qur’an hukum kesaksian juga di jelaskan oleh Rasulullah dalam hadisnya yang di riwayatkan Imam Muslim, Beliau Bersabda:
 أَلَ أٌجْبِرُ كُمْ بِجَيْرِ الشُّهَدَاءِالَّذِي يَأْتِي بِشَهَادَتِهِ قَبْلَ أَنْ يُسْأَلَهَا (رواه مسلم)
“ Maukah kalian aku beritaukan tentang sebaik-baik saksi ? yaitu orang yang datang menjadi saksi sebelum di minta memerikan kesaksian. (HR. Muslim).[4]
Seorang laki-laki tidak boleh memberikan kesaksian kecuali yang sesuai dengan apa yang di ketahuinya, baik melalui penglihatan maupun pendengaran.  Suatu kesaksian dapat diberikan pada saksi lain jika dia berhalangan hadir, baik karena sakit atau meninggal dunia.
Dari Khuzaim bin fatik Al-Azadi. ia menceritaka bahwa rasulullah pernah mengerjakan sholat subuh, ketika berbalik beliau berdiri seraya bersabda:” Kesaksian palsu itu sama seperti syirik kepada Allah.” sebanyak tiga kali. kemudian membacakan ayat, “dan jauhilah ucapan-ucapan dusta” (HR, Abu Dawud, Ibnu Mjah dan At-tirmuzi).
Imam At-Tirmizi mengatakan, menurut ku inilah riwayat yang sahih. Khuzaim bin Fatik tidak sendirian, dan telah di riwayatkan dair nabi beberapa hadist berkenaan dengan ini.

      C.    Syarat-syarat menjadi seorang saksi
Dalam memberikan kesaksian seseorang di syaratkan memenuhi empat kriteria, yaitu :
a.       Islam[5]
Tidak di perboehkan kesaksian orang kafir untuk orang muslim. Kecuali dalam hal wasiat di tengah perjalanan maka di perbolehkan. ini menurut penapat imam abu hanifah, syuraih, dan ibrahim an-Nakha’i. Asy-sya’bi ibnu abi layla mengatakan, “kesaksian orang yahudi untuk yahudi lainnya di perbolehkan. Namun tidak boleh jika untuk orang Nasrani. Juga tidak diperbilhakan kesaksian pengant suatua agama unutk penganut agama lainnya.  Ulama Hanafiyah juga membolehkan kesaksian antar sesama orang kafir. Karena Nabi SAW pernah merajam dua orang yahudi dengan kesaksian orang-orang yahudi untuk keduanya dalam kasus perzinahan.(HR. Muslim)
b.      Balig
Kesaksian seorang anak tidak dapat di terima, Kecuali dalam kasus yang berkaitan dengan anak-anak juga. Misalnya penganiayaan, Imam malik dan Abdullah bin Zubair membolehkan kesaksian anak kecil dalam hal penganiayaan, selagi mereka tidak berselisih dan berpecah balah. Inilah pendapat yang paling kuat sebab, orang-orang dewasa tidak hadir bersama mereka dalam permainan meraka.[6]
c.       Berakal
Kesaksian orang gila atau idiot tidak dapat di terima. Akan tetapi kesaksian orang yang tidak gila seutuhnya (terkadang sembuh dari gilanya) maka hal yang seperti ini dapat di terima kesaksiannya (saat memberikan sesaksian di dalam keadaan sadar), Sebab kesaksian orang yang berakal sehat sama kedudukannya deng orang yang tidak dalam keadaan gila.[7]


d.      Adil
Syarat adil ini wajib terpenuhi dalam kesaksian, Artinya, kebaikan mereka mengalahkan keburukannya dan mereka tidak biasa berdusta.
Hal ini didasarkan pada firman Allah swt:
وَاَشْهِدُ وأذَوَى عَدْلٍ مِّنْكُمْ وَأقِيْمُوأألشَّهَدَةَ لِلّهِ .(2)
“Dan persaksikanlah denga dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah”. (Ath-Thalaq:2).
e.       Dapat berbicara
Seorang saksi harus mampu berbicara, Kecuali jika dia menuliskan kesaksiannya dengan tulisan. Ini menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Ahmad, dan pendapat yang shahih dari Mazhab Imam Syafi’i.
f.       Kuat ingatan dan cermat
Tidak dapat di terima kesaksin orang yng terkenal dengan ingatannya yang buruk, san sering lupa maupun salah, kerana hilangnya kepercayaan terhadap perkataannya. Hala ini juga berlaku bagi orang yang dungu dan semisalnya.
g.      Bebas dari tuduhan
Orang yang tertuduh di sebabkan oleh kecintaan atau permusuhan tidak dapat di terima kesaksiaannya. Demikian juga tidak di terima kesaksiam ashl, yaitu seperti kesaksian anak untuk orang tuanya, juga kesaksian al-furu’ yaitu seperti kesaksian orang tua kepada anaknya. Contoh yang lain misalnya seorang pelayan yang di beri nafkah oleh tuan rumahnya, mak kesaksiannya tidak di terima karena adanya tuduhan(kecurigaan).
Aisyah meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabdah: “ Tidak di perbolehkan kesaksian penghiyanat laki-laki maupun perempuan, juga orang yang memiliki kedengkian terhadap saudara muslimnya. Tidak ada kesaksian dari seorang anak untuk orang tuanya dan dari orang tua unutk ankanya.” (HR Tirmiziv dan selainnya)[8]
Tidak semua orang dapat menjadi saksi, karena ada bebrapa orang yang tidak dapat di teriama kesaksiannya, sebagaiman yang disabdahkan Rasulullah SAW.:
لَتَجُوْزُ شَهَادَةُ خَا ءِنٍ وَلَ خَا ءِنَةٍ وَلَ ذِي غَمْرٍ عَلَى أَخِيْهِ وَلَ تَجُوْزُ شَهَادَةُالْقَا نِعِ لِ أَهْلِ الْبَيْتِ. (روه ا أحمد و ابوداود و البيهقى).
“ Tidak di terima kesaksian penghiyanat, baik laki-lak dan perempuan, tidak juga yang sakit hati kepada saudaranya, dan tidak juga di terima kesaksian qani’ untuk satu anggota keluarga.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan baihaqi. Dia mengatakan sanad hadist ini kuat).[9]

      D.    Waktu diterimanya kesaksian seorang wanita
Kesaksian wanita dapat diterima jika sudah pernah menjalani masa haid. Hal ini sebagaiman Firman Allah: “ Dan apabila anak-anak kalian telah mencapai usia balig, maka hendaklah mereka meminta izin seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta izin.” (Q.S An-Nur:59). Dalam  ayat tersebut diatas terdapat pengertian yang mengeitka pemberlakuan hukum drngan pencapaian usia anak dimana dia telah mengalami mimpi (yang menyebabkan keluarnya mani). Dan para ulama juaga telah malkukan ijma’ bahwa mimpi yang menyebabkan keluar mani, pada kaum laki-laki maupun kaum wanita mengaharuskan kepadanya menjlankan selruh ibadah serta di berlakukannya hudud dan seluruh hukum. Yang di maksud mimpi disini adalah keluarnya mani, baik melalui ijma’ ata yang lainnya, dalam keadaan tidur maupun tidak. Selain itu mereka juga sepakat bahwa ijma’ dalam mimpi tidak berpengaruh kecuali jika telahmengeluarkan mani.[10]

       E.     Kesaksian kaum Wanita
Dasar hukum kesaksian seorang wanita, Allah berfirman : “Jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan”. (Q.S Al- Baqarah:282).
Dari Abu Sa’id al –khuduri Nabi saw bersabdah :
اَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأةِ مِثْلَ نِصْفِ شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَا بَلَى قَالَ فَذَالِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِه ) رواه البخارى(
“Bukankah kesaksian seorang wanita itu setengah dari kesaksian seorang laki-laki?” Para sahabat Wanita menjawab “ Ya” yang demikian itu karena wanita kekurangan akalnya. (HR. Al-Bukhari).
Sebuah kisah yang di ceritakan Imam syafi’i yang bersumber dari ibunya, dimana dia (ibunya) bersama seorang wanita lain pernah memberikan kesaksian di hadapan seorang hakim mekkah. kemudian hakim tersebut hendak memisahkan keduanya sebagai bentuk ujian baginya, Lalu ibunya Imam syafi’i berkata, Anda tidak berhak melakuka hal itu, Karena Allah ta’ala berfirman, “Supaya jika Seseorang Lupa maka seorang lagi menginggatkannya.” (Al-Baqarah: 282).
Ibnu mundzir mengatakan :“Para ulama telah sepakat berpendapat sama dengan berpegang pada lahiriyah ayat di atas,  dimana mereka membolehkan kesaksian wanita bersama orang laki-laki. Dan jumhur ulama  mengkhususkan kesaksian itu dalam hal hutang dan harta benda. seperti yang dikatakan Ulama hanafiyah bahwa,” Kesaksian kaum perempuan bersama kaum laki-laki di perbolehkan dalam urusan harta, pernikahan, rujuk, talak, dan segala urusan selain hudud dan qishash.”[11]
Tetapi meraka masih berbeda pendapat mengenai kesaksian dalam nikah, perceraian, keturuanan, dan perwalian. Dalam hal ini jumhur ulama tidak membolehkannya, tetapi para ulama Kufah membolehkannya. [12]
Selanjutnya Ibnu Mundzir mengatakan, mereka sepakat menerima kesaksian dua orang wanita saja atas perakara-perkara yang tidak dapat diketahui oleh orang laki-laki, misalnya perkara haid, proses kalahiran, dan aib-aib wanita. Tetapi meraka masih berbeda pendapat mengenai hal penyusuan.
Abu Ubaid mengatakan, kesepakatan meraka membolehkan kesaksian dua orang wanita dalam hal harta benda adalah berdasarkan pada ayat di atas, Sedangkan penolakan mereka terhadap kesaksian dua orang wanita dalam hal hudud dan qishash  didasarkan pada ayat berikut ini, “Itulah hudud (hukum-hukum) Allah.” (Q.S Al- Baqarah : 187). Kaum wanita tidak di terima kesaksianya dalam hal ini karena meraka tidak berhak mengambil keputusan atau memberikan jalan keluar.










BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
1.      Kesaksian itu merupakan seseorang yang menjelaskan dengan jujur  tentang apa yang telah di lihat atau di dengarnya.
2.      Hukum pemberian kesaksian ini adalah fardu ‘ain bagi orang yang mengembannya, jika ia di tuntut untuk memberikan kesaksian dan menjadi wajib jika di khawatirkan akan hilangnya kebenaran. Allah Berfirman dalam Al- Qur’an Surah Al- Baqarah :283. “Dan janganlah kalian (para saksi) menyembunyikan kesaksian. Barang siapa menyembunyikannya, maka sesungguhnya dia yang berdosa hatinya. (Q.S Al- Baqarah :283)”. Dijelaskan pula dalam surah Ath-Thalaq : 2“Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksia itu karen Allah.” (Q.S Ath-Thalaq:2)
3.      Syarat-syarat yang harus ada pada seorang saksi : Islam, berakal, balig, adil, dapat berbicara, kuat inggatan dan cemat, dan bebas dari tuduhan.
4.      kesaksian seorang perempuan Pada dasarnya ulama fikih mengakui kedudukan perempuan untuk dapat menjadi saksi Dalam perkara-perkara tertentu kesaksian perempuan dapat diterima dalam hal yang terkait dengan harta serta yang berkaitan dengan masalah  yang tidak bisa diketahui kecuali kaum perempuan itu sendiri. kecuali kasus pernikahan, kisas, hudud, dan had zina kesaksian perempuan tidak dapat diterima. Akan Tetapi, Memperbandingkan kondisi perempuan sekarang di mana banyak perempuan menjadi pemimpin publik, bahkan menjadi presiden, menjadi komisaris utama sebuah perusahaan besar, akuntan terkemuka, penghafal Alquran, dan lain-lain sebagai jawaban dari tuduhan ulama zaman dahulu bahwa perempuan daya ingatnya lemah, pelupa, tidak bisa memimpin, akal dan agamanya kurang, maka tentu saja pandangan bahwa kesaksian perempuan separuh dari laki -laki harus dikaji lebih lanjut..Kenyataan sekarang perempuan telah setara dengan laki-laki hampir dalam segala bidang, karena perempuan juga telah memiliki akses yang hampir sama dengan laki-laki. Mengikuti perkembangan ini, maka perempuan sepatutnya disetarakan dengan laki-laki di hadapan hukum, termasuk dalam posisinya sebagai saksi dalam semua urusan, baik muamalat, munakahat, maupun jinayat khusus dibidang hudud dan qisas.


DAFTAR PUSTAKA

Alex MA. kamus ilmiyah populer kontemporer. Surabaya : karya harapan, 2005
Sulaiman Al-Faifi. Ringkasan Fikih sunah(sayyid sabiq). Jakarta Timur : Beirut Publishing, 2014
Syaik, H, Abdul Halim Hasan. Tafsir Al-Ahkam. Jakarta : Kencana, 2006
Syaikh kamil muhammad uwaidah. fiqh wanita. Jakarta timur : pustaka al kausar, 2006          
Syaikh Mutawali As-Sya’rawi, Fiqih perempuan (muslimah) busana dan Perhiasan, Penghormatan atas Perempuan sampai wanita karier. Jakarta : Amazah, 2009
Zamzami. Kesaksian permpuan dalam Al-Qur’an. Riau : UIN Sultan Syarif Karim, 2011 


[1] Alex MA. kamus ilmiyah populer kontemporer. (Surabaya : karya harapan, 2005). hal 578
[2] syaikh kamil muhammad uwaidah. fiqh wanita. (Jakarta timur : pustaka al kausar, 2006). hal 635
[3] syaik, H, Abdul Halim Hasan. Tafsir Al-Ahkam. (Jakarta : Kencana, 2006). hal 178
[4] Sulaiman Al-Faifi. Ringkasan Fikih sunah(sayyid sabiq). (Jakarta Timur : Beirut Publishing,2014). hal 893
[5] ibid Sulaiman Al-Faifi. Ringkasan Fikih sunah(sayyid sabiq). (Jakarta Timur : Beirut Publishing,2014) hal 894
[6] ibid hal 896
[7] Zamzami. Kesaksian permouan dalam Al-Qur’an. (Riau : UIN Sultan Syarif Karim, 2011) hal 22 
[8] ibid Sulaiman Al-Faifi. Ringkasan Fikih sunah(sayyid sabiq). (Jakarta Timur : Beirut Publishing,2014) hal 896
[9] ibid syaikh kamil muhammad uwaidah. fiqh wanita. (Jakarta timur : pustaka al kausar, 2006). hal 636
[10] ibid  641
[11] ibid Sulaiman Al-Faifi. Ringkasan Fikih sunah(sayyid sabiq). (Jakarta Timur : Beirut Publishing,2014). hal 899
[12] ibid hal 636                         
 

Tintasetitik_dalam ilusi © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor