Rekognisi Nilai Kesetraan dalam Keluarga (Rumah Tangga)
A.
Normalistis
Nilai kesetaraan dalam Masyarakat pada umumnya
Masyarakat memposisikan perempuan sebagai seorang yang lemah
lembut, berperan sebagai ibu rumah tangga
yang membesarkan anak-anaknya, menjadi pelayan
yang baik kepada suami (laki-laki) mulai
melayani makan, minum dan di tempat tidur. Sebaliknya
laki-laki berperan sebagai kepala rumah
tangga yang kuat, melindungi keluarga serta memiliki banyak hak istimewa
dalam keluarga.
Dalam keluarga di Indonesia pada umumnya, orang tua atau
lingkungan, secara langsung maupun tidak langsung telah mensosialisasikan peran
anak laki-laki dan perempuannya secara berbeda. Anak laki-laki diminta membantu
orang tua dalam hal-hal tertentu saja, bahkan seringkali diberi kebebasan untuk
bermain dan tidak dibebani tanggung jawab tertentu. Anak perempuan sebaliknya
diberi tanggung jawab untuk membantu pekerjaan yang menyangkut urusan rumah
(membersihkan rumah, memasak, dan mencuci).
Namun dengan berkembanganya dan kemajuannya zaman kebiasan
masyarakat sedikit berubah karena seperti yang kita ketahui bahwa di masa
sekarang ini banyak perampuan yang cerdas, memiliki ketarampilan dan keahlian
dalam bidangnya msing-masing, sehingga banyak di temukan perempuan yang bekerja
(wanita karir), sehingga peran gender atau kesetaraan sosial terbentuk. Peran
gender terbentuk melalui berbagai sistem nilai termasuk nilai-nilai adat,
pendidikan, agama, politik, ekonomi, dan sebagainya.
Sebagai hasil bentukan sosial, peran gender dapat berubah-ubah
dalam waktu, kondisi, dan tempat yang berbeda sehingga peran laki-laki dan perempuan
mungkin dapat dipertukarkan. Mengurus anak, mencari nafkah, mengerjakan
pekerjaan rumah tangga (memasak, mencuci, dan lain-lain) adalah peran yang bisa
dilakukan juga oleh laki-laki maupun perempuan, sehingga
bisa bertukar tempat tanpa menyalahi kodrat.
Dinyatakan pula dalam Kompilasi Hukum Islam (dianggap sebagai
fikihnya masyarakat islam Indonesia) pada BAB XII HAK dan KEWAJIBAN SUAMI ISTRI
bagian kesatu “umum” pasal 77 ayat (1) bahwa “Suami dan istri memikul kewajiban
yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah mawadah dan rahmah yang
menjadi sendi dasar dan susunan dalam masyarakat. Kemudian di bagian kedua
“kedudukan suami istri” pasal 79 ayat (1) bahwa “ Suami adalah kepala keluarga
dan istri adalah ibu rumha tangga”. Ayat (2) bahwa “Hak dan Kedudukan istri
adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”.
B.
Permasalahan
Penulis melakukan suatu observasi pada dua keluarga. Keluarga
pertama, keluarga dari ibu Zafiah dan pak Sapiun seorang wanita karir
sekaligus ibu rumah tangga dan pekerja wiraswasta, yang mempunyai dua orang
anak laki-laki. Walaupun pekerjaan yang berbeda antara kedua pasangan suami
istri ini mereka tidaklah menyalahi kodrat meraka sebagai seorang laki-laki
(suami) dan wanita (istri), Karena keduanya (Pak Sapiun atau Ibu Zafiah)
mengakui bahwa yang menjadi pemimpin dalam kelarga (kepala Keluarga) adalah
seorang suami, karena peran seorang suami adalah unutk membimbing dan imam
untuk istri dan anak-anaknya. Begitu Pula sebaliknya Seorang istri adalah
Makmum dan mengikuti seorang iman atau pemimpin.
Namun dalam hal sosial, kedua pasangan ini sepakat bahwa tidak
selamanya wanita itu hanya berdiam diri dirumah (melakukan pekerjaan rumah) dan
laki-laki yang berada di luar (untuk bekerja). karena seperti yang di katakan
ibu zafiah dalam hal pembagian peran bahwa tidak ada pembagian peran yang
secara siknifikan, yang harus diatur secara rinci dan pasti, Karena menurut Ibu zafiah siapa yang memiliki
waktu luang, maka dia lah yang mengerjakannya. Misalnya dalam hal mengurus
anak-anaknya, Contoh kecil dalam hal memandikan anak pertama, tidak harus
saya yang melakukannya, bapak juga mengambil peran dalam hal memandikan anak,
ujarnya. Dalam hal mengurus Rumah tangga pun tidak mesti dan tidak harus saya
yang memasak, mencuci, dan yang lainnya, Karena saya pun harus bekerja, dan
jika ada kesempatan, maka saya yang mengurus semua pekerjaan rumah, Ucap ibu
zafiah.
Di dalam keluarga pak Sapiun dan Ibu zafiah, Tidak mengaharuskan
suami sebagai Tulang Punggung (tonggak) dalam menafkahi (mencari nafkah).
karena seperti yang di ungkapkan Ibu zafiah, bahwa tidak selamanya seorang
laki-laki (suami) di jadikan sebagai beban (dalam hal manafkahi). Karena dalam
hal mencari rezeki itu nasip-nasipan, siapa yang mendapat pekerjaan atau
peluang terlebih dahulu itulah yang bekerja (mencari nafkah). Jadi, dalam
memposisikan (suami atau istri) dalam keluarga ini tidak memberatkan tau
membebankan satu sama lain.
Kemudian keluarga kedua, keluarga dari Bapak Aan dan Ibu
Yuwar, seorang Perawat dan kepala rumah tangga, dan seorang wanita karir
(wirasuasta) sekaligus ibu rumah tangga. Kedua pasangan ini belum mempunyai
anak karena pasangan ini baru melangsungkan suatu pernikahan (menajalani
bahtera ruamh tangga). Dengan pekerjaan yang setara seperti ini, kedua pasangan
ini tidaklah menyalahi kodratnya masing-masing, karena keduanya mengakui bahwa
sorang suami adalah pemimpin atau imam dan pembimbing dalam rumah tangga dan
seorang istri adalah makmum yang mengikuti imamnya.
Namun dalam hal sosialnya, kedua pasangan ini mempunyai pekerjaan
yang dalam pendapatanya sangat berdeba, ibu Yuwar dengan pendapatan yang cukup
tidaklah merasa cemburu dengan suaminnya Pak Aan yang pendapatannya bisa di
katakan cukup besar, karena dari hasil pendapatan Pak Aan akan di berikan
kepada ibu Yuwar. Kemudian dalam bahtera rumah tangga pak Aan dan ibu Yuwar
tidak terlalu mengambil pusing posisinya. Dalam hal memposisikan seorang istri,
pak Aan Sebagai kepala Rumah tangga tidak terlalu bahkan tidak sama sekali
menekankan istrinya (bu Yuwar) untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga
(memasak, mencuci, dan lainnya), seperti yang di ucapkan pak Aan, bahwa Sebagai seorang istri dia sudah tahu
sendiri apa yang harus di kerjakan, apa yang harus dia lakukan, Namun jika ada
kesempatan untuk membantu dia (istri) dalam mengerjakan pekerjaan rumah maka
saya akan membantu nya. Jika Istri saya melakukan hal yang salah maka
itu sudah menjadi kewajiban saya untuk membimbing dan memberitahukan kepadanya
hal yang seharusnya, intinya disini menjalani kehidupan dalam bahtera rumah
tangga harus santai dan selow dalam menyikapi berbagai macam permasalahan, ujar pak Aan menjawab dengan santai. Sudah
menjadi Kewajiban seoranga suami untuk memberikan nafkah seperti yang katakan
pak Aan saya ini kepala keluarga, jadi sudah menjadi kewajiban saya untuk
menafkahi. Jadi dalam keluarga ini dengan setatus sosial yang sama tidak
terlalu mempusingkan mengenai posisi (seorang suami atau istri) karena keduanya
sudah mengetahui apa yang harus mereka lakukan sebagai suami dan istri.
C.
Solusi
Dari hasil observasi yang telah di lakukan oleh peneliti dapat di
pahami bahwa kedua keluarga yang di wawancarai mengakui adanya kesetaraan
antara suami dan istri dalam hal sosial, bahkan menerapkannya dalam kehidupan rumah
tangganya, seperti yang di ketahui bahwa dari kedua keluarga memposisikan
masing-masing suami dan istrinya dengan setara atau sama rata, suami tidak
menekankan seorang istri harus mengerjakan pekerjaan rumah dan begitu pula
sebaliknya seorang istri tidak menekankan suami dalam hal pekerjaan.
Namun, baik istri maupun
suami mempunyai kesadaran tersendiri dalam melakukan tugas dan tanggung
jawabnya, Tanpa menyalahkan hal yang sudah menjadi kodratnya, yang dimana
kodrat tidak bisa di rubah seperti
kepala keluarga menjadi pemimpin, imam, dan pembimbing untuk istri dan
anak-anaknya, dan seorang istri sebagai makmum yang harus mentaati dan mematuhi
serta menerima bimbingan dari seorang pemimpin atau imam.
Hal ini juga sejalan dengan Hukum Positif yang ada di Indonesia karena dalam
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang terdapat dalam BAB VI HAK dan KEWAJIBAN
SUAMI ISTRI pada Pasal 31 ayat (1) bahwa “ Hak dan Kedudukan istri adalah
seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”.
Jadi,
baik normalitas maupun permasalahan mengenai Rekognisi Nilai Kesetaraan Dalam
Keluarga (Antara Suami Dan Istri) ini sejalan dan sesuai dengan realita dan
Hukum Positif yang berlaku di Indonesia.