MAKALAH TARIKH TASYRI’
“Lanjutan Periodisasi Perkembangan Hukum Islam (Tasyri’ Islami)”
OLEH KELOMPOK 5 :
ELLA MIANTI (170202010)
IQLIMA MUTMAINNAH (170202009)
DOSEN PENGAMPU : MUHAMMAD NOR, M.HI
FAKULTAS
SYARI’AH
JURUSAN AHWAL SYAKHSIYYAH
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2018
KATA
PENGANTAR
Pertama-tama kami
panjatkan puja & puji syukur atas rahmat & ridho Allah SWT.karena tanpa
rahmat & ridhoNYA ,kami tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik
dan selesai tepat waktu. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada Bapak
Mohammad Nor, M.HI., selaku dosen pengampu “TARIKH TASYRI” yang membimbing kami
dalam pengerjaan tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan kepada teman-teman
kami yang selalu setia membantu kami dalam hal mengumpulkan data-data dalam
pembuatan makalah ini.
Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang “Lanjutan Periodisasi Perkembangan
Hukum Islam (Tasyri Islami)” Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat
kesalahan yang belum kami ketahui. Maka dari itu kami mohon saran & kritik
dari teman-teman maupun dosen demi tercapainya makalah yang sempurna.
Mataram, 31 Maret 2018
PENYUSUN
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.................................................................................................2
DAFTAR
IS................................................................................................................3
BAB
I PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang................................................................................................4
B.
Rumusan
Masalah.. ........................................................................................5
C.
Tujuan.............................................................................................................5
BAB
II PEMBAHASAN
A. Faktor Munculnya Tasyri’ di Era Modern.......................................................6
B. Tanda-Tanda
Tasyri’ di Era Modern................................................................7
C.
Karakteristik
perkembangan Tasyri’ di Era Modern.......................................10
D.
Keadaan
Tasyri’ di Era
Modern.......................................................................11
E.
Tarikh
Tasyri’ di Indonesia..............................................................................13
BAB III PENUTUP
SIMPULAN...............................................................................................................19
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................................21
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tarikh tasyri’ dalam perjalanannya mengalami kemajuan serta
kemunduran. Tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam sesudah
periode Nabi Muhammad saw. jika diamati berdasarkan literatur hukum Islam, maka
ditemukan beberapa pendapat berdasarkan sudut pandang, di antaranya ada
pendapat yang mengungkapkan empat tahapan, yaitu: (a) Masa Khulafaurrasyidin
(632 – 662 M); (b) Masa pembinaan, pengembangan dan pembukuan (abad ke-7 – 10
M); (c) Masa kelesuan pemikiran (abad ke-10 – 19 M) (d) Masa kebangkitan
kembali (abad ke-19 M sampai saat ini).
Ditinjau dari sisi teori, sejarah Islam modern dimulai sejak
tahun 1800 M hingga sekarang. Secara politis pada abad 18 M dunia Islam hampir
dibawah kendali bangsa Barat. Namun, baru abad 20 M mulai bermunculan kesadaran
di dunia Islam untuk bangkit melawan penjajahan Barat. Dalam sejarah Islam
periode modern disebut dengan kebangkitan dunia Islam karena ditandai banyaknya
bermunculan pemikiran pembaharuan dalam dunia Islam.
Lahirnya ide pembaharuan Islam dimulai dengan mulai sadarnya
umat Islam akan tidur panjang dan mimpi indahnya, kemudian bangun dan membenahi
diri serta bangkit kembali menjadi suatu kekuatan yang setidaknya setara dengan
kekuatan Barat. Pada waktu itu, umat Islam sudah terpecah-pecah ada yang masih
terhimpun dalam tiga kerajaan Islam, yakni Turki Usmani, Mughol dan Safawi, ada
yang lepas dari tiga kekuatan itu dengan mendirikan kerajaan-kerajaan kecil,
ada juga yang tidak termasuk dari kedua kategori tersebut.
Ada dua
peristiwa yang membuat umat Islam terbangun dan bangkit, yakni:
1. Perang Salib.
2. Adanya ekspansi Barat ke Timur (ekspansi Bangsa Eropa
ke Asia dan Afrika).
Maka dari
itu, masa modern lahir karena setelah masa transisi yang menyebabkan umat Islam
terjajah oleh bangsa Barat yang menyengsarakan umat Islam. Untuk itu, guna
mengatasi permasalahan tersebut, maka lahirlah Masa Modern.
Sekarang kita hidup di era yang modern, semua yang kita butuhkan
langsung tersedia secara instant. Fenomena ini, bisa kita lihat di beberapa
bidang. Di bidang komunikasi, saat kita dulu masih SD tidak ada orang yang
megang handphone kecuali orang-orang tertentu saja, bahkan dulu TV sangat sulit
kita jumpai, tetapi pada era ini anak SD pun sekarang sudah banyak yang megang
HP, bahkan sekarang di desa-desa sudah ada yang namanya internet. Di bidang
kedokteran, sekarang orang yang hamil bisa diketahui apakah bayinya laki-laki
atau perempuan, bahkan juga bisa mengetahui istri yang sudah ditinggalkan
suaminya apakah di rahimnya terdapat bayinya atau tidak. Dan di bidang-bidang
yang lainya. Sejalan dengan perkembangan itu, persolan-persoalan juga semakin
kompleks. Dan apakah hukum Islam bisa menjawab semua persolan-persolan itu? Dan
apakah jawaban-jawaban itu masih relevan seperti zaman Nabi dan
sahabat-sahabat-Nya? Dan apa yang harus dilakukan jika jawaban-jawaban itu
tidak relevan lagi?
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
faktor munculnya Tasyri’ di Era Modern ?
2.
Apa
saja Tanda-tanda Tasyri’ di Era Modern?
3.
Bagaimana
Karakteristik perkembangan Tasyri’ di Era Modern?
4.
Bagaimana
Keadaan Tasyri’ di Era Modern ?
5.
Bagaimana
pertumbuhan tarikh tasyri di Indonesia?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Dapat
mengetahui Faktor munculnya Tasyri’ di Era Modern
2.
Dapat
mengetahui tanda-tanda Tasyri’ di Era Modern
3.
Dapat
mengetahui karakteristik perkembangan Tasyri’ di Era Modern
4.
Dapat
mengetahui keadaan Tasyri’ di Era Modern
5.
Dapat
mengetahui tarikh tasyri di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Faktor Munculnya Tasyri’ di Era Modern[1]
Pada zaman para sahabat dahulu, apabila mereka menjumpai suatu nash
dalam Al-Qur’an atau Sunnah yang menjelaskan hukum dari peristiwa yang mereka
hadapi, mereka berpegang teguh pada nash tersebut dan mereka berusaha memahami
maksudnya untuk menerapkannya pada peristiwa-peristiwa itu. Apabila mereka
tidak menjumpai dalam nash maka mereka berijtihad untuk menetapkan hukumnya.
Dalam berijtihadnya mereka berpegang pada kemampuan mereka dalam bidang
syari’at. Karena ijtihad pada zaman modern ini merupakan suatu kebutuhan,
bahkan merupakan suatu keharusan bagi masyarakat yang ingin hidup pada masa
Islam. Sedangkan di zaman modern ini, kemajuan pesat yang terjadi dalam bidang
pengatahuan dan teknologi menimbulkan perubahan-perubahan besar dalam segala
bidang kehidupan manusia. Kalau pada masa awal Islam masih menggunakan pedang,
sekarang sudah menggunakan senjata canggih. Begitu juga dengan transportasi,
pada awal mula Islam. Jelasnya dengan kemunculan ilmu pengetahuan dan teknologi
banyak sekali muncul hal baru dalam kehidupan manusia dan menimbulkan
perubahan-perubahan baru dalam
masyarakat, baik perubahan struktur sosial dan munculnya masalah-masalah baru
seperti masalah trannfusi darah, bayi tabung dan lain-lain yang perlu diatur
dan diselesaikan sesuai dengan kaidah Islam.
Agar agama Islam mampu menghadapi perkembangan zaman, maka hukum
Islam perlu dikembangkan dan pemahaman tentang Islam harus terus menerus
diperbaharui dengan memberikan penafsiran-penafsiran terhadap nash syara’
dengan cara menggali kemungkinan atau alternatif dalam syari’at yang diyakini
bisa menjawab masalah-masalah baru. Jadi, pembaharun hukum Islam dimaksudkan
agar hukum Islam tidak ketinggalan zaman dan mampu menjawab pertanyaan yang
berkesinambungan di dalamnya.
Lahirnya ide pembaharuan
Islam dimulai sadarnya umat Islam akan tidur panjang dan mimpi indahnya,
kemudian bangun dan membenahi diri serta bangkit kembali menjadi suatu kekuatan
yang setidaknya setara dengan kekuatan Barat. Pada waktu itu, umat Islam sudah
terpecah-pecah ada yang masih terhimpun dalam tiga kerajaan Islam, yakni Turki
Utsmani, Mughol dan Safawi, ada yang lepas dari tiga kekuatan itu dengan
mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, ada juga yang tidak termasuk dua kategori
tersebut.
Di awal fase ini,
mulai bangkit semangat kebangsaan, artinya manusia lebih cenderung untuk
menghimpun diri dalam suatu kesatuan berdasarkan suku bangsa (nation state)
ketimbang terhimpun dalam suatu kesatuan berdasarkan agama (religion state).
Namun, yang menarik adalah hampir seluruh suku bangsa yang dijajah menganut
agama Islam, melakukan perjuangan yang berbarengan untuk memperjuangkan
lahirnya sebuah negara bangsa yang berdaulat di satu sisi, disisi lain agama
juga sedang giat melakukan modernisasi.
Dan tidak jarang dalam proses lahirnya
sebuah negara bangsa ini tampillah tokoh-tokoh agama sebagai pioner
perjuangannya. Hal ini, disebabkan karena bangsa Barat dianggap menginjak-injak
nilai kehormatan suatu bangsa yang dikuasainya dan mengusik agama (Islam) yang
dianut oleh bangsa tersebut.
Ada dua peristiwa yang
membuat umat Islam terbangun dan bangkit, yakni:
a. Perang Salib. Perang
ini merupakan peperangan yang banyak memakan waktu, biaya, dan korban baik
korban jiwa maupun korban harta. Tetapi, disamping hal yang merugikan, ada
faktor positif dari Perang Salib ini, yakni kedua belah pihak berupaya mencari
tahu dan mengenal pihak lawannya secara baik. Dan ini merupakan awal dari
sebuah dialog.
b b. Adanya ekspansi Barat
ke Timur (ekspansi Bangsa Eropa ke Asia dan Afrika). Diketahui bahwa Barat kebanyakan
menganut agama Kristen dan Timur kebanyakan menganut agama Islam, sehingga
keduanya pun mengalami kontak yang tidak dapat dihindarkan. Di sisi lain, Barat
adalah negara-negara yang telah mencapai kemodernan dan kemajuan di segala
bidang, sedangkan Timur adalah masih tradisional dan terbelakang. Misi yang
diemban Barat adalah melakukan tiga hal: grory, gold dan gospel.
Menghadapi benturan
dua peradaban (Islam-Kristen,
Timur-Barat) ini lahirlah tiga reaksi dari umat Islam, yaitu :
1.)
Pemahaman yang didasarkan
pada anggapan bahwa Bangsa Barat adalah bangsa yang lebih unggul dari Islam,
supaya Islam pun unggul seperti mereka, maka Islam perlu mencontoh
Barat dari segala aspeknya.
2.)
Anggapan bahwa umat
Islam harus yakin bahwa Islam itu agama yang benar tak mungkin salah dan kalah
oleh yang lain.
3.)
Sebagian kelompok
memberikan pernyataan bahwa mereka harus yakin bahwa Islam adalah agama yang
benar, kapanpun dan dimanapun. Bahkan pada masa lampau umat Islam pernah
mencapai kejayaan yang gilang gemilang. Namun, karena Umat Islam meninggalkan
ajarannya dan merasa puas dengan apa yang mereka dapatkan, menjadikan umat
Islam terlena dan tertidur pulas.
B.
Tanda-Tanda
Tasyri’ di Era Modern[2]
Tanda-tanda kebangkitan hukum Islam pada masa modern
dapat kita lihat pada sistem mempelajari dan segi-segi penulisan tentang hukum
Islam, kedudukan hukum-hukum Islam dalam perundang-udangan negara, dan
penilaian orang-orang orientalis terhadap hukum Islam. Atas dasar segi-segi tersebut
maka tinjauan berikut ini diadakan.
- Sistem Mempelajari dan Menuliskan Hukum-Hukum Islam
Kebangunan hukum Islam pada masa modern banyak
bergantung kepada cara mempelajarinya, yaitu sistem perbandingan. Yakni
mempelajari hukum-hukum Syara’ dengan berbagai pendapat tentang satu persoalan
dan alasannya masing-masing, serta aturan-aturan dasar yang menjadi
pegangannya. Kemudian pendapat-pendapat tersebut diperbandingkan satu sama
lain, untuk di pilih pendapat mana yang lebih benar dan diperbandingkan pula
dengan hukum positif. Di sana tidak hanya satu madzab saja yang dikaji dan
dipelajari, akan tetapi keempat aliran hukum ahlussunah wal jama’ah.
Memang para fuqaha masa-masa dahulu sudah mengenal sistem perbandingan hukum
dengan menyebutkan pendapat berbagai ulama mujtahidin meskipun dalam bentuk
yang sederhana. Akan tetapi semenjak abad ke empat hijriah dengan mengecualikan
karya Ibnu Rusyd yang sangat bernilai yaitu Bidayatul Mujtahid, perbandingan
tersebut hanya di maksudkan untuk mengadakan pembelaan terhadap pendapat imam
yang dianutnya dan mengusahakan melemahkan pendapat imam lain. Oleh karena itu,
maka tidak ada penguatan (tarjih) suatu pendapat atas pendapat lain karena
kekuatan dalil itu sendiri. Selanjutnya kemungkinan untuk mencari pendapat yang
lebih tepat dan yang lebih sesuai dengan rasa keadilan orang banyak tidak ada
lagi. Karena penguatan salah satu pendapat dalam hukum Islam hanya terjadi
dalam lingkungan satu mazhab.
Apa yang menyebabkan tidak adanya sistem perbandingan
antara pendapat-pendapat fuqaha antara mazhab ialah karena adanya fatwa untuk
bertaqlid semata-mata, dan taqlid inipun harus terbatas dalam lingkungan mazhab
empat saja yang suda terkenal dan di setujui oleh golongan Ahlussunnah. Bahkan
di fatwakan pula, bahwa bagi orang-orang yang sudah mengikuti mazhab tertentu
tidak boleh berpindah kepada mazhab lain ataupun mengikuti mazhab lain pula
dalam waktu yang sama, kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Fatwa lain ialah
bahwa fuqaha-fuqaha yang datang kemudian tidak boleh meninjau kembali apa yang
telah di putuskan oleh fuqaha-fuqaha angkatan terdahulu.
- Kedudukan Hukum-Hukum Islam dalam Perundang-undangan Negara
Usaha-usaha perundang-undangan negara sebenarnya sudah
pernah dilakukan beratus-ratus tahun yang lalu, seperti yang diperbuat oleh
Ibnul Muqoffa’ pada abad kedua Hijrah, di masa Khalifah Abbasiyah. Ia pernah
mengirim surat kepada Khalifah Al- Mansyur untuk membuat suatu Undang-undang
yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah, dan apabila tidak ada nas pada keduanya
bisa diambil dari fikiran dengan syarat bisa mewujudkan rasa keadilan dan
kepentingan orang banyak. Surat tersebut dikirim karena adanya perbedaan
pendapat antara para fuqoha dan hakim dalam memutuskan suatu masalah yang sama.
Akan tetapi surat tersebut tidak mendapatkan sambutan yang cukup pada masa itu,
karena para fuqoha tidak mau memaksa orang untuk mengikuti pendapat-pendapatnya,
serta memperingatkan murid–muridnya untuk tidak berfanatik buta serta
mengingatkan bahwa ijtihad–ijtihad yang dilakukan bisa kemasukan salah.
Pada abad kesebelas Hijrah, As-Sultan Muhammad Alamkir
(1038-1118 H), salah seorang raja India, membentuk suatu panitia yang terdiri
dari ulama-ulama India terkenal dengan diketuai oleh Syekh Nazzan. Panitia
tersebut diberi tugas untuk membuat satu kitab yang menghimpun riwayat-riwayat
yang disepakati oleh madzab Hanafi; Kitab tersebut terkenal dengan nama:
”Al-Fatawi al Hindiyah” (fatwa-fatwa India).
- Penilaian Orang – Orang Orientalis Terhadap Hukum Islam
Perhatian orang-orang orientalis (orang-orang Barat
yang suka mempelajari apa yang berasal dari Timur) terhadap
peninggalan-peninggalan Islam pada umumnya berasal dari abad-abad pertengahan,
ketika mereka hendak mengetahui faktor-faktor kebesaran kaum muslimin sehingga
mereka bisa memegang tampuk pimpinan dunia pada waktu itu.
Perhatian para orientalis tersebut diwujudkan dalam
bentuk mempelajari, menyelidiki, menerjemahkan dan membahas, serta menerbitkan
terhadap berbagai buku fiqh standart. Tidak sedikit juga yang mendalami
persoalan hukum Islam baik dalam bentuk buku-buku yang mereka tulis atau
pembahasan-pembahasan yang mereka muatkan majalah-majalah khusus mengenai
hukum.
Dengan mengesampingkan beberapa orientalis yang
sengaja memberikan gambaran yang salah, maka banyak penghargaan yang tinggi
terhadap hukum Islam sudah banyak diberikan oleh sarjana-sarjana hukum Eropa
dan Amerika. Antara lain Kohler dari Jerman, Wignore dari Amerika, dan
Delvices. Sarjana-sarjana ini menyebutkan adanya flexibilitas dan kemampuan
yang dimiliki hukum Islam sehingga bisa mengikuti perkembangan masa. Mereka
juga mensejajarkan hukum Islam dengan hukum Romawi dan hukum Inggris, sebagai
hukum-hukum yang telah menguasai dunia dan yang masih terus menguasainya.
Penghargaan terhadap hukum Islam tersebut dikemukakan sendiri oleh Sarjana
Hukum Barat terkenal dari Perancis, yaitu Lambert, dalam Seminar Internasional
untuk Perbandingan Hukum, yang diadakan pada tahun 1932.
C.
Karakteristik perkembangan Tasyri’ di Era Modern[3]
Beberapa karakteristik kebangunan kembali tasyri’ Islam antara lain
adalah:
1. Munculnya
semangat tajdid, atau yang sering disebut sebagai pembaharuan sebagai
manifestasi dari seruan terbukanya kembali ijtihad di kalangan orang muslim.
Terminologi tajdid berasal dari kata jadda yajiddu jiddatan wa tajdiidan yang
berarti pembaharuan. Tradisi pembaharuan ini pada hakikatnya menggambarkan
usaha perseorangan atau kelompok untuk mewujudkan Islam secara terang-terangan
dan tegas sesuai dengan wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad SAW, tanpa adanya
sesuatu yang mengada-ada. Tajdid dalam konteks ini meliputi upaya
keimana, seruan kembali kepada al-qur’an dan al-Hadits, dengan demikian
masyarakat muslim ketika itu memiliki dasar paradigmatic keagamaan yang kokoh.
2.
Munculnya
jargon kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Pada hakikatnya apa yang disebut
dengan pembaharuan atau yang identik dengan kebangkitan hanya akan terjadi jika
tradisi dasar yang mendasari gerak secara total telah ada dan telah dirumuskan.
Dengan berdasar pada dua sumber sebagai dasar paradigma kehidupannya, yaitu
al-Qur’an dan al-Hadits maka masyarakat muslim baru dapat menggunakannya
sebagai dasar penilaian dan dasar menemukan hokum suatu permasalahan, perkara,
peristiwa, dan praktik-praktik yang terjadi dalam masyarakat. Atas dasar itu John
L. Esposito mengatakan bahwa dengan adanya dasar dua sumber tersebut
memungkinkan dikeluarkan seruan membentuk kembali masyarakat atas dasar
ketetapan yang ada dalam kitab suci.
3.
Dibukanya
kembali pintu ijtihad, secara bahasa ia berarti upaya sungguh-sungguh untuk
merealisasikan salah satu permasalahan. Sedangkan secara istilahi M.
al-Khudlary mengatakan bahwa ijtihad adalah aktivitas untuk memperoleh
pengetahuan istinbath hokum syara’dari dalil-dalil terperinci dalam syari’ah.
Sebab ketika itu, ijtihad telah ditutup. Dengan demikian aktifitas kreatif dan
dinamis melakukan istimbat hokum dalam masyarakat otomatis terjadi stagnan.
Tentu saja dengan kondisinya seperti itu para ulama ketika itu tidak dapat
melakukan aktivitas apa-apa. Dengan demikian apa yang disebut sebagai proses
tasyri’ atau penetapan hokum ketika itu tidak mengalami perkembangan sama
sekali.
4.
Berkembangnya
tasyri’ pada masa modern. Banyak beberapa masail fiqhiyah yang belum pernah
muncul pada masa-masa sebelumnya, pada masa modern ini berkembang. Suatu contoh
persoalan perubahan kelamin, pencangkoan jantung, cloning, nikah melalui
SMS, dan masih banyak permasalahan-permasalahan hukum yang lain yang
harus diselesaikan pada era itu. Yang hingga kini masih menyisakan persolan
tersendiri.
D.
Keadaan Tasyri’ di Era Modern
Pada saat ini banyak pemandangan yang sering kita
lihat, bukan hanya di dunia Barat, bahkan di dunia Muslim saat ini telah banyak
mengalami perubahan dalam segala bidang. Baik itu yang berasal dari diri muslim
sendiri maupun dari luar. Di era modern yang banyak
mengalami perubahan ini perlu adanya pembaharuan hukum Islam. Namun dalam pembaharuan hukum Islam
tidak boleh merubah hukum yang ada, artinya kita hanya boleh menetapkan hukum
baru yang belum ada pada masa Rasul dan sahabat sedangkan hukum yang telah ada
tidak boleh dirubah ataupun diperbaharui. Pembaharuan hukum Islam terdiri dari
dua kata, yaitu “pembahuruan” yang berarti modernisasi, atau suatu upaya yang
dilakukan untuk mengadakan atau menciptakan suatu yang baru; dan “hukum Islam”, yakni
koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan
masyarakat. Dalam hal ini hukum Islam lebih didekatkan dengan fiqih, bukan
syariat.
Dari sejarah di atas, kita dapat
menyimpulkan bahwa hukum Islam itu harus dinamis, sehingga tidak luput dari
suatu pembaharuan. Untuk melakukan suatu pembaharuan hukum Islam di zaman modern yang penuh dengan anggapan ataupun
kesalahpahaman tentang pemahaman yang harusnya tidak dipermasalahkan lagi dalam
agama kita ini maka harus ditempuh melalui beberapa metode. Dalam hal ini Ibrahim Hosen seorang
ahli hukum Islam Indonesia menawarkan langkah-langkah sebagai berikut:
1. Pemahaman baru terhadap Kitabullah
Untuk mengadakan pembaharuan
hukum Islam, hal ini dilakukan dengan direkonstruksi dengan jalan mengartikan
al-qur’an dalam konteks dan jiwanya. Pemahaman melalui konteks berarti
mengetahui asbab an-nusul. Sedangkan pemahaman melalui jiwanya berarti
memperhatikan makna atau substansi ayat tersebut. Perlu ditekankan bahwa
Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang pertama dan utama sebagaimana yang
diungkapkan Allah dalam Surah An-Nisaa’.
Artinya:
”Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah
Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak
bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat”. (Q.S. An-Nisa': 105 ).
2. Pemahaman baru terhadap Sunah
Sunnah adalah sumber kedua dalam
syaria. Ia menjadi bagi Al-Qur’an, tapi juga memberikan dasar bagi munculnya
hukum baru. Pemahaman baru terhadap Sunnah, dapat dilakukan dengan cara
mengklasifikasikan sunnah, mana yang dilakkan Rasulullah dalam rangkka Tasyri’
Al-Ahkam (penetapan hukum) dan mana pula yang dilakukannya selaku manusia biasa
sebagai sifat basyariyyah (kemanusiaan). Sunnah baru dapat dijadikan pegangan
wajib apabila dilakukan dalam rangka Tasyri’ Al- Ahkam. Sedangkan yang
dilakukannya sebagai manusia biasa tidak wajib diikuti, seperti kesukaaan
Rosulullah SAW kepada makanan yang manis, pakaian yang berwarna hijau dan
sebagainnya. Disamping itu sebagaimana Al-Qur’an, Sunnah juga harus dipahami
dari segi jiwa dan semangat atau substansi yang terkandung di dalamnya.
3. Pendekatan ta’aqquli (rasional)
Ulama’ terdahulu memahami rukun
Islam dilakukan dengan Taabbudi yaitu menerima apa adanya tanpa komentar,
sehingga kwalitas illat hukum dan tinjauan filosofisnya banyak tidak terungkap.
Oleh karena itu pendekatan ta’aquli harus ditekankan dalam rangka pembaharuan
hukum Islam (ta’abadi dan ta’aqquli). Dengan pendekatan ini illat hukum
hikmahat-tashih dapat dicerna umat Islam terutama dalam masalah kemasyarakatan.
4. Penekanan zawajir (zawajir dan jawabir) dalam pidana
Dalam masalah hukum pidana ada
unsur zawajir dan jawabir. Jawabir berarti dengan hukum itu dosa atau kesalahan
pelaku pidana akan diampuni oleh Allah. Dengan memperhatikan jawabir ini hukum
pidana harus dilakukan sesuai dengan nash, seperti pencuri yang dihukum dengan
potong tangan, pezina muhsan yang dirajam, dan pezina ghoiru muhsan didera.
Sedangkan zawajir adalah hukum yang bertujuan untuk membuat jera pelaku pidana
sehingga tidak mengulanginya lagi. Dalam pembaharuan hukum Islam mengenai
pidana, yang harus ditekakankan adalah zawajir dengan demikian hukum pidana
tidak terikat pada apa yang tertera dalam nash.
5. Masalah ijma’
Pemahaman yang terlalu luas atas
ijma dan keterikatan kepada ijama harus dirubah dengan menerima ijmak sarih,
yang terjadi dikalangan sahabat (ijma sahabat) saja, sebagaimana yang
dikemukakan oleh As-Syafi’i kemungkinan terjadinya ijma sahabat sangat sulit,
sedangkan ijma sukuti (ijma diam) masih diperselisihkan.
Disamping itu, ijma yang dipedomi haruslah mempunyai sandaran qat’i yang pada
hakikatnya kekuatan hukumnya bukan kepada ijma itu sendiri, tetapi pada dalil
yang menjadi sandaranya. Sedangkan ijma yang mempunyai sandaran dalil zanni
sangat sulit terjadi.
6. Masalik al-‘illat (cara penetapan ilat)
Kaidah-kaidah yang dirumuskan
untuk mendeteksi illat hukum yang biasanya dibicarakan dalam kaitan dengan qiyas. Dalam kaidah pokok dikatakan bahwa “hukum beredar sesuai dengan
ilatnya”. Ini ditempuh dengan merumuskan kaidah dan mencari serta menguji alit
yang benar-benar baru.
7. Masalih mursalah
Dimana ada kemaslahatan disana
ada hukum Allah SWT adalah ungkapan popular dikalangan ulama. Dalam hal ini
masalih mursalah dijadikan dalil hukum dan berdasarkan ini, dapat ditetapkan
hukum bagi banyak masalah baru yang tidak disinggung oleh al-qur’an dan sunah.
8. Sadd az-zari’ah
Sadd az-zari’ah berarti sarana
yang membawa ke hal yang haram. Pada dasarnya sarana itu hukumnya mubah,akan
tetapi karena dapat membawa kepada yang maksiat atau haram, maka sarana itu
diharamkan. Dalam rangka pembaharuan hukum Islam sarana ini digalakkan.
9. Irtijab akhalf ad-dararain
Dalam pembaharuan hukum Islam
kaidah ini sangant tepat dan efektif untuk pemecahan masalah baru. Umpamanya
perang di bulan muharram hukumnya haram, tetapi karena pihak musuh
menyerang, maka boleh dibalas dengan berdasarkan kaidah
tersebut, karena serangan musuh dapat menggangu eksistensi agama Islam.
10. Keputusan waliyy al-amr
Atau disebut juga ulil amri yaitu
semua pemerintah atau penguasa, mulai dari tingkat yang rendah sampai yang
paling tinggi. Segala peraturan Undang-Undangan wajib ditaati selama tidak
bertentangan dengan agama. Hukum yang tidak dilarang dan tidak diperintahkan
hukumnya mubah. Contohnya, pemerintah atas dasar masalih mursalah menetapkan
bahwa pembatasan umur calon mempelai laki-laki dan perempuan yaitu perkawinan
hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita
sudah mencapai umur 16 tahun.
11. Memfiqhkan hukum qat’i
Kebenaran qat’i bersifat absolut.
Sedangkan kebenaran fiqh relative. Menurut para fukaha, tidak ada ijtihad terhadap
nas qat’i (nas yang tidak dapat diganggu gugat). Tetapi kalau demikian halnya,
maka hukum Islam menjadi kaku. Sedangkan kita perpegang pada motto: al-Islam
salih li kulli zaman wa makan dan tagayyur al-ahkam bi tagayyur al-amkinah wa
al-zaman. Untuk menghadapi masalah ini qat’i
diklasifikasikan menjadi: Qat’i fi jami’ al-Ahwal dan Qot’i
fi ba’d al-Ahwal. Pada qot’I fi al-Ahwal tidak berlaku ijtihad, Sedangkan pada
qot’I fi ba’d al-Ahwal ijtihad dapat diberlakukan. Tidak semua hukum qat’I dari
segi penerapanya (tatbiq) berlaku pada semua zaman.
E. Tarikh Tasyri’ di Indonesia[4]
Perkembangan pembaruan Hukum Islam di Indonesia. Ada tiga priode
perkembangan pembaharuan hukum Islam di Indonesia yaitu :
1.
Priode Awal – 1945 : Pergeseran Dalam Hukum Yang Berlaku
Hukum Islam di
Indonesia merupakan gabungan tiga hukum yang berlaku, yaitu hukum adat, hukum
islam, dan hukum barat. kedudukannya disebutkan dalam peraturan
perundang-undangan yang dikembangkan oleh ilmu pengetahuan dan praktek
peradilan. Hukum Islam masuk di Indonesia bersamaan dengan masuknya agama
Islam. Kerajaan-kerajaan Islam yang kemudian berdiri melaksanakan hukum islam
diwilayahnya masing-masing. kerajaan-kerajaan itu, misalnya samudra Pasai di
Aceh Utara pada akhir abad XIII, diikuti diantaranya Demak, Jepara, Tuban dan
Gresik.
Pada zaman VOC,
kedudukan hukum islam dalam bidang kekeluargaan diakui bahkan dikumpulkan dalam
sebuah peraturan yang dikenal dengan Compendium freijer. Demikian juga dikumpulkan
hukum perkawinan dan kewarisan islam di daerah Ciirebon, Semarang dan Makassar.
Pada zaman
penjajahan Belanda mula-mula hukum islam bertumpu pada pikiran Sholten van
Haarlem diakui oleh pemerintah hindia belanda secara tertulis dengan istilah godsdien
wetten sebagaimana terlihat pada pasal
75 (lama) Regeering Reglemen tahun 1985 peradilan yang di peruntukan bagi
mereka yang telah ditentukan, yaitu pristerad (Pengadilan agama, stbl 1882, No.
152 jo 1937 no 116 dan 610 untuk Jawa Madura dan kerapatan Qadli; stbl 1937 No.
638 dan 639 untuk kalimantan seatan dan timur). kemudian setelah merdeka
pengadilan agma atau mahkamah syariah ( PP No 45/1957 untuk daerah luar jawa
Madura dan kalimantan selatan dan timur).
2.
Periode 1945 – 1985 : Pergeseran Bentuk Ke Hukum Tertulis
Meskipun
kedudukan hukum islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu
tegas pada masa awal orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegas tetap terus
dilakukan. Hal ini ditunjukkan oleh K.H.
Mohammad Dahlan, seorang mentri agama dari kalangan Muhammadiyah yang mencoba
mengajukan rancangan Undang-undang perkawinan umat islam dengan dukungan kuat
fraksi-fraksi islam di DPR. Meskipun gagal upaya ini kemudian dilanjudkan
dengan mengajukan rancangn hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di
Indonesia pada tahun 1970. upaya ini kemudian membuah hasil dengan lahirnya UU
No14/1970 yang mengakui pengadilan agama sebagai salah satu badan peradilan
yang berinduk pada Mahkamah Agung. Melalui UU ini, menurut Hazairin, hukum islam
dengan otomatis telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri
sendiri.
Pemerintah RI
menemukan kenyataan bahwa hukum islam yang berlaku itu tidak tertulis dan
terserak dibeberapa kita yang menjadi perbedaan antar umat islam. Undang-Undang
No. 22 Tahun 1946 dan No. 23 Tahun 1954 dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
mendesak akan adanay kesatuan dan kepastian hukum dalam pencatatn nikah, talak,
dan rujuk yang masih diaautr dalam beberapa peraturan yang bersifat
propensialistis dan tidak sesuai dengan Negara RI sebagai negara kesatuan.
Peraturan-peratuaran teersebut ialah Huwellijksordonnannties S. 1929 No. 348 jo
S. 1933 No 98 dan Huwellijksordonnanntie Buitengewesten S. 1932 No. 428.
3.
Periode 1985-Sekarang: Menuju Periode Taqnin
Periode ini dimulai
sejak ditandatangi Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Dan Menteri
Agama RI Tentsng Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pe,Bangunan Hukum Islam Melalui
Yurisprudensi No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 maret 1985 di
Yogyakarta.
1.
Latar
Belakang Gagasan Kompilasi Hukum Islam
Ide kompilasi hukum islam timbul setelah beberapa tahun Mahkamah Agung membina bidang
teknis yustisial peradilan agama. tugas pembinaan ini didasarkan pada UU No. 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal II ayat
(1) yang menyatakan bahwa organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan
dilakukan oleg departemen masing-masing; sedangkan pembinaan teknis yustisial
dilakukan oleh Mahkamah Agung. meskipun undang-undang tersebut ditetapkan
tahun1970, namun pelaksanaannya di lingkungan peradilan aagama baru pada tahun
1983, setelah penandatanganan SKB Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI No.
01, 02, 03, dan 04/SK/1-1983 DAN NO. 1,2,3, dan 4 Tahun 1983. keempat SKB ini
merupakan jalan pintas sambil menunggu keluarnya undang-undang tentang susunan,
kekuasaan, dan acara pada pradilan agama yang merupakan peraturan pelaksanaan
UU No. 14 Tahun 1970 bagi lingkungan peradilan agma yang pada saat itu masih
sedang dalam proses penyususnan yang intersif.
2.
Gagasan
dasar komplikasi hukum islam
Prof. H. Busthanul Arifin, S.H,
sebagai pencetus gagasan KHI
memapakarkan beberapa hal, antara lain:
a.
Untuk
dapat belakunya hukum (islam) di
Indonesia, harus ada hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan, baik oleh aparat
penegak hukum maupun masyarakat.
b.
Persepsi
yang seragam tentang syariat sudah dan akan menyebabkan hal-hal berikut ini.
1)
Ketidakseragaman
dalam menentukan apa yang disebut dengan
hukum islam itu.
2)
Tidak
ada kejelasan bagaimana cara menjalankan syariat.
3)
Tidak
mampu menggunakan sarana dan alat yang telah tersedia dalam UUD 1945 dan
perundang-undangan lainnya.
c.
Sejarah
mencatat bahwa hukum islam pernah diberlakukan sebagai perundang-undangan
negara, yaitu:
1)
Di
India, Raja al-Rajeb membuat dan memberlakukan perundang-undangan islam yang
terkenal dengan Fatwa Alamfiri.
2)
Di
Kerajaan Turki Utsmani, dikerajaan ini hukum islam dikenal dengan nama
Majallahb Al-Ahkam Al-Adliyah
3)
Di
Sudan, pada tahun 1983, hukum islam di negara ini dikodifikasikan.
Apa yang telah
dilakukan Departemen Amana pada Tahun 1958 dengan membatasi hanya 13 kitab
kuning adalah upaya menuju ke arah kesatuan dan pastian hukum yang sejalan
denngan apa yang dilakukan dinegara-negara tersebut. Dari sanalah kemudian
timbul gagasan untuk membuat Komplikasi Hukum Islam sebagai buku hukum
bagi pengadilan agama.
d.
Landasan
Yuridis
Landasan Yuridis tentang perlunya hakim memerhatikan kesadaran
hukum masyarakat adalah UU No. 14/1970 pasal 20 ayat (1) yang berbunyi, “Hukum
sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami
nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Sementara itu, didalam fiqih
ada kaidah yang mengatakan, “Hukum Islam
dapat berubah karena perubahan waktu, tempat, dan keadaan .” keadaan
masyarakat itu selalu berubah dan ilmu fiqh itu sendiri selalu berkembang
karena menggunakan metode-metode yang sangat memerhatikan rasa keadilan masyarakat.
Diantara metode-metode itu adalah maslahah mursalah, istihsan, istishab, dan
‘urf.
e.
Landasan
Fungsional
Komplikasi Hukum Islam adalah fiqh Indonesia yang disusun dengan
memerhatikan kondisi kebutuhan hukum umat islam Indonesia. Fiqh Indonesia,
sebagaimana yang pernah dicetuskan oleh Prof. Hazairin, S.H., dan Prof. T.M.
Hasbi Ash- sShiddieqy sebelumnya mempunyai tipe fiqh lokal, semacam fiqh
Hijazi, fiqh Mishri, dan fiqh Hindi yang sangat memerhatikan kebutuhan dan
kesadaran hukum masyarakat setempat. Ini bukanlah mazhab, melainkan upaya
unifikasi mazhab dalam hukum islam.
3.
Realisasi
Komplikasi Hukum Islam
a.
Proses
pembentukan Komplikasi Hukum Islam
Pembentukan Komplikasi Hukum Islam dilaksanakan oleh Tim
pelaksanaan proyek yang ditunjuk dengan SKB ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri
Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1965 tanggal 25 Maret 1985. Dalam SKB
tersebut, ditentukan para pejabat MA dan Depag yang ditunjuk beserta jabatannya
masing-masing dalam proyek. pemimpin umum dipegang oleh Prof. H. Bustanil
Arifin, Ketua Muda MA RI urusan lingkungan peradilan agama, dan H. Zaini
Dahlan, M.A. sebagai wakilnya.
Tugas pokok proyek adalah melaksanakan usaha pembangunan hukum
islam melalui yurisprudensi dengan jalan komplikasi hukum. Sasarannya adalah
mengkaji kitab-kitab yang dipergunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim
agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia menuju hukum nasional.
Untuk menyelenggarakan tugas pokok tersebut, proyek pembanggunan
hukum islam dilakukan dengan cara pengumpulan data, wawancara, lokakarya, dan
studi banding.
b.
Pelaksanaan
proyek
Pelaksanaan proyek dilakukan melalui empat jalur, yaitu jalur
penelitian kitab, pengelolaan data hasil penelitian, lokakarya, dan Inpres No.
1 Tahun 1991. Berikut ini penjelasannya.
1)
Jalur
Penelitian Kitab
Pokok
hukum yang diteliti sebanyak 160 masalah hukum keluarga, seperti perkawinan,
kewarasan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah. Kitab yang diteliti sebanyak 38
kitab dan dilakukan oleh 10 IAIN di Indonesia mulai 7 Maret sampai 21 juni
1985. tidak hanya itu, metode lain yang ditempuh adalah sebagai berikut:
a)
wawancara
dilakukan terhadap para ulama di 10 lokasi pengadilan tinggi agama di berbagai
daerah, mulai dari aceh sampai mataram
b)
penelitian
yurisprudensi dilaksanakan oleh direktorat pembinaan badan peradilan agama yang
telah dihimpun dalam 16 buku.
c)
studi
perbandingan dilakukan diberbagai negara di timur tengah seperti maroko, turki
dan mesir
2)
Pengolahan
data hasil penelitian
Hasil
penelaahan kitab, wawancara, penelitian yurisprudensi, dan studi banding diolah
oleh tim besar. Setelah itu, dibahas dan diolah oleh tim kecil, seperti Prof.
H. Bustanil Arifin, Prof. H. M. D. Kholid, S.H, H. Masrani Basran, S.H., M
Yahya Harahap, S.H., H. Zaini Dahlan, M.A dan H. A. Wasiat Aulawi, M.A. Tim
kecil selajutnya menghasilkan tiga buku naskah rancangan hukum islam, yaitu:
a)
buku
pertama tentang perkawinan
b)
buku
kedua tentang kewarisan, dan
c)
buku
ketiga tentang perwakafan.
Rancangan komplikasi hukum islam ini selesai disusun dalam kurun
waktu dua tahun sembilan bulan setelah emngadakan rapat sebanyak dua puluh
kali. Untuk itu pada tanggal 29 desember 1987, Rancangan Komplikasi Hukum Islam
secara resmi diserahkan kepada ketua mahkamah agung dan menteri agama.
3)
Lokakarya
Pada upacara penyerahan naskah Rancangan KomplikasinHukum Islam,
dilakukan penandatangan SKB oleh ketua Mahkamah Agung, H. Ali Said, S.H dan
mentri agama, H. Munawir Syadzali, M.A tentang pelaksanaan lokakarya.
Lokakarya dilakukan pada tanggal 2 – 6 februari 1988 untuk
mendengarkan komentar akhir para ulama dan cendekiawan muslim. Mereka yang
hadir sebanyak 126 oranga dari daerah penelitian dan wawancara.
4)
Inpres
No. 1 Tahun 1991
Setelah naskah akhir kompliksi hukum islam menglammi penghalusan redaksi
oleh tim besar, selajutnya disampaikan kepada Presiden RI oleh menteri Agama
denagn surat tanggal 14 maret 1988 No. MA/123/1988 agar memperoleh bentk
yuridis untuk digunakan dalam praktik dilingkungan peradilan agama.
selanjutnya, lahirlah inpres No. 1 tahun 1991 yang dalam diktumnya menyatakan,
“mengintuksikan kepaadaa mentri agama untuk meyebarluaskan komplikasi hukum
islam yang terdiri atas tiga buku untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan
masyarakat yang memerlukannya.”
Untuk melaksanakan intruksi tersebut, mentri agama mengeluarkan
surat keputusan No. 154 tahun 1991 tanggal 22 juli 1991 kepada seluruh instansi
departemen agama dan instansi pemerintah terkait agar menyebar luaskan an
menggunakannya dalam masalah keluarga. Direktur Jenderal pembinaan kelembagaan
agma islam dan urusa haji, mengoordinasikan pelaksannan keputusan mentri agma
RI dalam bidangnya masing-masing.
Dengan mengeluarkan intruksi presiden dan keputusan mentri agama
tersebut, komplikasi hukum islam telah mendapatkan pengesahan untuk
dipergunakan sebagai pedoman, baik bagi para hakim dilingkungan peradilan agma
dan instansi lain dalam tugasnya sehari-hari maupun masyarakat yang
memerlukannya.
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
1.
Faktor
tarikh tasyri’ di era moderen
Agar agama Islam mampu menghadapi perkembangan zaman, maka hukum
Islam perlu dikembangkan dan pemahaman tentang Islam harus terus menerus
diperbaharui dengan memberikan penafsiran-penafsiran terhadap nash syara’
dengan cara menggali kemungkinan atau alternatif dalam syari’at yang diyakini
bisa menjawab masalah-masalah baru. Jadi, pembaharun hukum Islam dimaksudkan
agar hukum Islam tidak ketinggalan zaman dan mampu menjawab pertanyaan yang
berkesinambungan di dalamnya Lahirnya ide pembaharuan Islam dimulai sadarnya
umat Islam akan tidur panjang dan mimpi indahnya, kemudian bangun dan membenahi
diri serta bangkit kembali menjadi suatu kekuatan yang setidaknya setara dengan
kekuatan Barat. Pada waktu itu, umat Islam sudah terpecah-pecah ada yang masih
terhimpun dalam tiga kerajaan Islam, yakni Turki Utsmani, Mughol dan Safawi,
ada yang lepas dari tiga kekuatan itu dengan mendirikan kerajaan-kerajaan
kecil, ada juga yang tidak termasuk dua kategori tersebut.
2.
Tanda-
tanda tasyri’ di era modern
Tanda-tanda kebangunan hukum Islam pada masa modern
dapat kita lihat pada sistem mempelajari dan segi-segi penulisan tentang hukum
Islam, kedudukan hukum-hukum Islam dalam perundang-udangan negara, dan
penilaian orang-orang orientalis terhadap hukum Islam.
3.
Karakteristik
perkembangan Tasyri’ di Era Modern
Munculnya semangat
tajdid, atau yang sering disebut sebagai pembaharuan sebagai manifestasi dari
seruan terbukanya kembali ijtihad di kalangan orang muslim. Munculnya jargon
kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Pada hakikatnya apa yang disebut dengan
pembaharuan atau yang identik dengan kebangkitan hanya akan terjadi jika
tradisi dasar yang mendasari gerak secara total telah ada dan telah dirumuskan.
Dibukanya kembali pintu ijtihad, secara bahasa ia berarti upaya sungguh-sungguh
untuk merealisasikan salah satu permasalahan. Berkembangnya tasyri’ pada masa
modern. Banyak beberapa masail fiqhiyah yang belum pernah muncul pada masa-masa
sebelumnya, pada masa modern ini berkembang. Suatu contoh persoalan perubahan
kelamin, pencangkoan jantung.
4.
Keadaan tasyri di era moderen
Di era modern yang banyak mengalami perubahan perlu adanya suatu pembaharuan hukum Islam, dalam pembaharuan hukum Islam
tidak boleh merubah hukum yang ada, artinya hanya boleh menetapkan hukum baru yang belum ada pada masa Rasul dan
sahabat sedangkan hukum yang telah ada tidak boleh dirubah ataupun
diperbaharui. Dalam hal ini hukum Islam lebih
didekatkan dengan fiqih, bukan syariat.
5.
Tarikh tasyri’ di
Indonesia
Hukum islam
masuk ke Indonesia bersamaan dengan masunknya islam. tiga periode perkembangan
pembaharuan hukum islam di Indonesia, yaitu : Periode Awal – 1945 : Pergeseran Dalam Hukum Yang Berlaku, Periode 1945 –
1985 : Pergeseran Bentuk Ke Hukum Tertulis, dan periode 1985-sekarang : menuju
periode taqnin.
DAFTAR ISI
Abdul Majid Khon, Ikhtisar Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembinaan
Hukum Islam Dari Masa Ke Masa. Jakarta : Amzah, 2013
Ahmad Hanafi, Pengantar dan sejarah hukum islam. Jakatra :
Bulan Binatang, 1970
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam.
Jakarta : Rajawali Pers, 2009
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam.
Jakarta : Gramata Publishing, 2010
[1]
Ahmad Hanafi, Pengantar
dan sejarah hukum islam. (Jakatra : Bulan Binatang, 1970)
[2] Mohammad Daud
Ali, Hukum Islam. (Jakarta : Rajawali Pers, 2009)
[3]
Yayan Sopyan, Tarikh
Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam. (Jakarta : Gramata Publishing,
2010)
[4] Abdul Majid
Khon, Ikhtisar Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembinaan Hukum Islam Dari Masa Ke
Masa (Jakarta : Amzah, 2013) hal 177
0 komentar:
Posting Komentar