Rabu, 16 Januari 2019

contoh observasi

di Januari 16, 2019 0 komentar


Rekognisi Nilai Kesetraan dalam Keluarga (Rumah Tangga)

A.      Normalistis Nilai kesetaraan dalam Masyarakat pada umumnya
Masyarakat memposisikan perempuan sebagai seorang yang lemah lembut, berperan  sebagai  ibu  rumah  tangga  yang  membesarkan  anak-anaknya,  menjadi pelayan  yang  baik  kepada  suami  (laki-laki)  mulai  melayani  makan,  minum  dan di tempat  tidur.  Sebaliknya  laki-laki  berperan  sebagai  kepala  rumah  tangga  yang kuat, melindungi keluarga serta memiliki banyak hak istimewa dalam keluarga.
Dalam keluarga di Indonesia pada umumnya, orang tua atau lingkungan, secara langsung maupun tidak langsung telah mensosialisasikan peran anak laki-laki dan perempuannya secara berbeda. Anak laki-laki diminta membantu orang tua dalam hal-hal tertentu saja, bahkan seringkali diberi kebebasan untuk bermain dan tidak dibebani tanggung jawab tertentu. Anak perempuan sebaliknya diberi tanggung jawab untuk membantu pekerjaan yang menyangkut urusan rumah (membersihkan rumah, memasak, dan mencuci).
Namun dengan berkembanganya dan kemajuannya zaman kebiasan masyarakat sedikit berubah karena seperti yang kita ketahui bahwa di masa sekarang ini banyak perampuan yang cerdas, memiliki ketarampilan dan keahlian dalam bidangnya msing-masing, sehingga banyak di temukan perempuan yang bekerja (wanita karir), sehingga peran gender atau kesetaraan sosial terbentuk. Peran gender terbentuk melalui berbagai sistem nilai termasuk nilai-nilai adat, pendidikan, agama, politik, ekonomi, dan sebagainya.
Sebagai hasil bentukan sosial, peran gender dapat berubah-ubah dalam waktu, kondisi, dan tempat yang berbeda sehingga peran laki-laki dan perempuan mungkin dapat dipertukarkan.  Mengurus anak, mencari nafkah, mengerjakan pekerjaan rumah tangga (memasak, mencuci, dan lain-lain) adalah peran yang bisa dilakukan juga oleh laki-laki maupun  perempuan,  sehingga  bisa  bertukar  tempat tanpa  menyalahi kodrat.
Dinyatakan pula dalam Kompilasi Hukum Islam (dianggap sebagai fikihnya masyarakat islam Indonesia) pada BAB XII HAK dan KEWAJIBAN SUAMI ISTRI bagian kesatu “umum” pasal 77 ayat (1) bahwa “Suami dan istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah mawadah dan rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan dalam masyarakat. Kemudian di bagian kedua “kedudukan suami istri” pasal 79 ayat (1) bahwa “ Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumha tangga”. Ayat (2) bahwa “Hak dan Kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”.

B.       Permasalahan
Penulis melakukan suatu observasi pada dua keluarga. Keluarga pertama, keluarga dari ibu Zafiah dan pak Sapiun seorang wanita karir sekaligus ibu rumah tangga dan pekerja wiraswasta, yang mempunyai dua orang anak laki-laki. Walaupun pekerjaan yang berbeda antara kedua pasangan suami istri ini mereka tidaklah menyalahi kodrat meraka sebagai seorang laki-laki (suami) dan wanita (istri), Karena keduanya (Pak Sapiun atau Ibu Zafiah) mengakui bahwa yang menjadi pemimpin dalam kelarga (kepala Keluarga) adalah seorang suami, karena peran seorang suami adalah unutk membimbing dan imam untuk istri dan anak-anaknya. Begitu Pula sebaliknya Seorang istri adalah Makmum dan mengikuti seorang iman atau pemimpin.
Namun dalam hal sosial, kedua pasangan ini sepakat bahwa tidak selamanya wanita itu hanya berdiam diri dirumah (melakukan pekerjaan rumah) dan laki-laki yang berada di luar (untuk bekerja). karena seperti yang di katakan ibu zafiah dalam hal pembagian peran bahwa tidak ada pembagian peran yang secara siknifikan, yang harus diatur secara rinci dan pasti,  Karena menurut Ibu zafiah siapa yang memiliki waktu luang, maka dia lah yang mengerjakannya. Misalnya dalam hal mengurus anak-anaknya, Contoh kecil dalam hal memandikan anak pertama, tidak harus saya yang melakukannya, bapak juga mengambil peran dalam hal memandikan anak, ujarnya. Dalam hal mengurus Rumah tangga pun tidak mesti dan tidak harus saya yang memasak, mencuci, dan yang lainnya, Karena saya pun harus bekerja, dan jika ada kesempatan, maka saya yang mengurus semua pekerjaan rumah, Ucap ibu zafiah.
Di dalam keluarga pak Sapiun dan Ibu zafiah, Tidak mengaharuskan suami sebagai Tulang Punggung (tonggak) dalam menafkahi (mencari nafkah). karena seperti yang di ungkapkan Ibu zafiah, bahwa tidak selamanya seorang laki-laki (suami) di jadikan sebagai beban (dalam hal manafkahi). Karena dalam hal mencari rezeki itu nasip-nasipan, siapa yang mendapat pekerjaan atau peluang terlebih dahulu itulah yang bekerja (mencari nafkah). Jadi, dalam memposisikan (suami atau istri) dalam keluarga ini tidak memberatkan tau membebankan satu sama lain.
Kemudian keluarga kedua, keluarga dari Bapak Aan dan Ibu Yuwar, seorang Perawat dan kepala rumah tangga, dan seorang wanita karir (wirasuasta) sekaligus ibu rumah tangga. Kedua pasangan ini belum mempunyai anak karena pasangan ini baru melangsungkan suatu pernikahan (menajalani bahtera ruamh tangga). Dengan pekerjaan yang setara seperti ini, kedua pasangan ini tidaklah menyalahi kodratnya masing-masing, karena keduanya mengakui bahwa sorang suami adalah pemimpin atau imam dan pembimbing dalam rumah tangga dan seorang istri adalah makmum yang mengikuti imamnya.
Namun dalam hal sosialnya, kedua pasangan ini mempunyai pekerjaan yang dalam pendapatanya sangat berdeba, ibu Yuwar dengan pendapatan yang cukup tidaklah merasa cemburu dengan suaminnya Pak Aan yang pendapatannya bisa di katakan cukup besar, karena dari hasil pendapatan Pak Aan akan di berikan kepada ibu Yuwar. Kemudian dalam bahtera rumah tangga pak Aan dan ibu Yuwar tidak terlalu mengambil pusing posisinya. Dalam hal memposisikan seorang istri, pak Aan Sebagai kepala Rumah tangga tidak terlalu bahkan tidak sama sekali menekankan istrinya (bu Yuwar) untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga (memasak, mencuci, dan lainnya), seperti yang di ucapkan pak Aan, bahwa  Sebagai seorang istri dia sudah tahu sendiri apa yang harus di kerjakan, apa yang harus dia lakukan, Namun jika ada kesempatan untuk membantu dia (istri) dalam mengerjakan pekerjaan rumah maka saya akan membantu nya. Jika Istri saya melakukan hal yang salah maka itu sudah menjadi kewajiban saya untuk membimbing dan memberitahukan kepadanya hal yang seharusnya, intinya disini menjalani kehidupan dalam bahtera rumah tangga harus santai dan selow dalam menyikapi berbagai macam permasalahan,  ujar pak Aan menjawab dengan santai. Sudah menjadi Kewajiban seoranga suami untuk memberikan nafkah seperti yang katakan pak Aan saya ini kepala keluarga, jadi sudah menjadi kewajiban saya untuk menafkahi. Jadi dalam keluarga ini dengan setatus sosial yang sama tidak terlalu mempusingkan mengenai posisi (seorang suami atau istri) karena keduanya sudah mengetahui apa yang harus mereka lakukan sebagai suami dan istri.
C.       Solusi
Dari hasil observasi yang telah di lakukan oleh peneliti dapat di pahami bahwa kedua keluarga yang di wawancarai mengakui adanya kesetaraan antara suami dan istri dalam hal sosial, bahkan menerapkannya dalam kehidupan rumah tangganya, seperti yang di ketahui bahwa dari kedua keluarga memposisikan masing-masing suami dan istrinya dengan setara atau sama rata, suami tidak menekankan seorang istri harus mengerjakan pekerjaan rumah dan begitu pula sebaliknya seorang istri tidak menekankan suami dalam hal pekerjaan.
 Namun, baik istri maupun suami mempunyai kesadaran tersendiri dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya, Tanpa menyalahkan hal yang sudah menjadi kodratnya, yang dimana kodrat  tidak bisa di rubah seperti kepala keluarga menjadi pemimpin, imam, dan pembimbing untuk istri dan anak-anaknya, dan seorang istri sebagai makmum yang harus mentaati dan mematuhi serta menerima bimbingan dari seorang pemimpin atau imam.
Hal ini juga sejalan dengan Hukum Positif  yang ada di Indonesia karena dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang terdapat dalam BAB VI HAK dan KEWAJIBAN SUAMI ISTRI pada Pasal 31 ayat (1) bahwa “ Hak dan Kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”.  
Jadi, baik normalitas maupun permasalahan mengenai Rekognisi Nilai Kesetaraan Dalam Keluarga (Antara Suami Dan Istri) ini sejalan dan sesuai dengan realita dan Hukum Positif yang berlaku di Indonesia.


 

Tintasetitik_dalam ilusi © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor