Kediri, 30 September 2019
DENGKURAN DAN TAWA
Bercorak
tawa di bawa bentangan langit biru dihiasi awan yang berlalu lalang menutupi
cahaya rembulan, kali ini bintang
gemintang tidak terlihat solid. Dinginnya malam tidak menghalau orang-orang
yang fokus pada pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oleh peserta latihan
kader satu secara bergiliran.
Setelah
usai dari diskusi yang dibumbui canda tawa, suasana menjadi kaku, tidak ada hal
yang menarik untuk dibahas karena semuanya pada beku diguyur kedinginan.
Akhirnya, sembari menunggu pagi menelan malam. Saya bercumbu kembali bersama
sebuah buku merah di tengah-tengah dengkuran beberapa santri di dalam Masjid.
Ku
buka batas bacaan yang ditandai dengan secarik kertas, supaya buku tetap
terjaga dan tidak cepat rusak. Dari baris ke baris hingga beberapa paragraf
telah terlewati. Suasana menjadi berbeda, dengkuran para santri yang sedang
tertidur sontak hilang dan bangun akibat tawa.
Sesampai
pada persimpangan halaman ada kalimat yang membuat hati dan pikiran sedikit
tercerahkan, Ada hasrat dalam diri untuk
membagikan agar jadi pegangan ampuh untuk diri dalam kehidupan sehari-hari
"Jika dicaci kau takkan mati, dipuji pun takkan kenyang''. Sekilas redaksi
singkat nan luar biasa.
Tidak
terasa pagi pun tiba (pukul 04.00 wita) kami berkemas untuk segera berangkat
pulang ke kediaman masing-masing. Kondisi jalanan masih tertutup kabut ada rasa
tidak siap untuk melalui, raga semakin
beku dan menggigil, kediaman kami Masih jauh dalam pandangan, akhirnya raga memutuskan untuk memerobos
dinding kabut nan tebal, terlihat jelas jalanan terbentang lurus dan sepi.
M A R J A N