“PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM MENGENAI POLIGAMI DALAM SATU AKAD”
Poligami
merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak dibicarakan
sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai argumentasi
baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan
ketidakadilan jender.[1]
Oleh sebab itu mari kita kaji makna poligami yang sebenarnya dan poligami
perspektif hukum islam dan menurut Kompilasi Hukum Islam itu seperti apa.
Kata
Poligami berasal dari bahasa yunani polus yang artinya “banyak” dan gamein yang
artinya kawin. Jadi poligami artinya kawin banyak atau suami beristri banyak
atau istri bersuami banyak pada saat yang sama. Secara terminologi terbagi dua,
yakni poligini dan poliandri. poligini untuk suami yang beristri banyak,
sedangkan poliandriadalah istri yang bersuami banyak (lebih dari seorang).
Dalam bahasa arab disebut dengan ta’did al-zawjah (berbilang pasangan), dalam
bahasa Indonesia disebut perpaduan dan dalam bahasa sunda disebut nyandung.[2]
Poligami
memiliki akar sejarah yang cukup panjang, sepanjang sejarah peradaban manusia
itu sendiri, sebelum islam datang ke Jazirah Arab, Poligami merupakan suatu
yang telah mentradisi bagi masyarakat arab. Poligami pada masa itu dapat
dikatakan sebagai poligami tidak terbatas dan para istri pun tidak mendapatkan keadilan,
karena bagi bangsa Jazirah arab suami sendiri yang menentukan sepenuhnya siapa
yang paling ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak
terbatas, para istri harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha untuk memperoleh
keadilan.[3]
Kedatangan
Islam pun tidak menghapus adanya poligami namun islam hanya membatasi kebolehan
poligami hanya sampai empat orang istri dengan syarat yang begitu kuat, bahwa
seorang suami (yang hendak berpoligami) harus mampu berlaku adil.
Dalam syariat Islam, Poligami
terdapat dalam surat An-Nisa : 3 yang mengatakan bahwa Untuk laki-laki
yang merasa khawatir tidak dapat berlaku adil kepada perempuan yatim
diprintahkan untuk menikahi perempuan yang disukai, dua orang istri atau tiga
atau empat. Apabila tidak mampu berlaku adil, menikah hanya dengan seorang
istri. Apabila masih belum mampu berbuat adil, menikahlah dengan hamba sehaya.
Perbuatan demikian lebih baik dibandingkan dengan melakukan kezaliman.
Ditegaskan lagi dalam ayat berikutnya ayat 129 yang artinya “ Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil di antara istri-istri (mu) walapun kamu sangat ingin berbuat
demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cendrung (kepada yang kamu cintai)
sehingga kamu membiarkan yang lain terkatung-katung dan jika kamu
mengadakanperbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan) maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi maha penyayang”.[4]
Dalam
hukum islam, poligami merupakan suatu proses kepemimpinan seorang seorang
laki-laki atau suami dalam rumah tangganya. Apabila seorang suami yang poligini
tidak mampu melaksanakan keadilan dalam rumah tangga, ia tidak mungkin dapat
melaksanakan keadilan jika menjadi pemimpin dimasyarakat. Jika seorang suami
sewenang-wenang kepada istri-istrinya, sebagai pemimpin ia pun akan berbuat
kezhaliman kepada rakyat. Dalam surat An- Nisa ayat 3 yang ditegaskan lagi
dalam ayat 129 bukan masalah poligininya yang penting, melainkan masalah
keadilan dalam melaksanakan kepemimpinan dalam rumah tangga yang terpenting.
Dalam hal itulah syariat islam memberikan suatu gamaran bahwa poligami dapat
dilakukan sejauh maungkin karena prinsip keadilannya. [5]
Menurut Khazin Nasuha (2000:174-175) yang dimaksud dengan keadilan
dalam poligami adalah dalam soal materi, yakni adil dalam membagi waktu gilir,
adil dalam memperlakukan kebutuhan sandang, pangan, papan, dan adil dalam
memperlakukan kebutuahan batiniah istri-istrinya. Keadilan batiniah, menurut
khazin Nasuha, tidak ditutut oleh syariat Islam karena masalahnya berada diluar
kemampuan manusia. Rasulullah sendiri sangat cendrung rasa cintanya kepada
Aisyah dibandingkan kepada istri yang lainnya. [6]
Didalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga memuat mengenai poligami ang terdapat pada
bagian ke IX dengan judul , “ Beristri lebih dari satu orang” ang diungkap dari
pasal 55 sampai pasal 59.
Dalam
pasal 55 dinyatakan bahwa :
1. Beristri
lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang
istri.
2. Syarat
utama istri lebih dari satu orang, Suami harus mampu berlaku adil terhadap
istri dan anak-anaknya.
3. Apabila
syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang
beristri lebih dari satu orang. [7]
Lebih
lanjut dalam pasal 56 dijelaskan :
1. Suami
yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan
Agama.
2. Pengajuan
permohonan izin dimaksud pada ayat 1 dilakukan menurut tata cara sebagai mana
diatur dalam Bab VIII PP No. 9/1975.
3. Perkawinan
yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari
Pengadilan Agama tidak mempunyai ketentuan hukum.[8]
Dilanjutkan
dengan pasal 57 bahwa Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang
akan beristri lebih dari seorang apabila :
1.
Istri
tidak dapat menjalankan berkewajibannya sebagai istri.
2.
Istri
mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3.
Istri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Yang
terdapat pada pasal 57 Kompilasi Hukum Islam diatas, Pengadilan Agama hanya
memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila
terdapat alasan-alasan sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 UU Perkawinan.
Jadi, pada dasarnya Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk
beristri lebih dari seorang apabila dikhendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.[9]
Selanjutnya
pada pasal 59 dijelaskan :
Dalam
hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri
lebih dari permohonan izin untuk beristri lebihdari satu oranng berdasarkan
atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan pasal 57,
Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelajh memeriksa dan
mendengar istri yang bersangkutan dipersidangan Pengadilan Agama dan terhadap
penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.[10]
Dengan
demikian terlepas dari kritik yang muncul berkenaan dengan beberapa persoalan
poligami, dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Perundang –
undangan Perkawinan Indonesia tenang Poligami sebenarnya telah mengatur agar
laki-laki yang melakukan poligami adalah laki-laki yang benar-benar (1) mampu
secara ekonomi menghidupi dan mencukupi seluruh kebutuahan (baik
sekunder-primer-tersier) keluarga (istri-istri dan anak-anak), serta (2) Mampu
berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya sehingga tidak ada yang
disia-siakan. [11]
Mengenai pernikah
dalam satu akad memang terdapat pada beberapa keterangan kitab, di antaranya
dalam Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah XIV/351 :
( وجمع خمس ) في النكاح لا يحل لحر لقوله
تعالى { فانكحوا ما طاب لكم من النساء } الآية { وقوله : صلى الله عليه وسلم
لغيلان وقد أسلم وتحته عشر نسوة أمسك أربعا وفارق سائرهن } رواه ابن حبان والحاكم
وصححاه... ( ولعبد ) ، ولو مكاتبا .( لا يحل جمع ثلاث ) لأنه على النصف من الحر ،
وقد أجمع الصحابة على أنه لا ينكح أكثر من اثنتين رواه البيهقي عن الحكم بن عتيبة
، والمبعض كالعبد ( وهو ) أي : جمع الحر خمسا والعبد ثلاثا .( في عقد ) واحد ( بطل
) في الجميع إذ لا أولوية لإحداهن على الباقيات ، فإن نكحهن مرتبا بطل نكاح الزائد
على العدد المعتبر .
Dan
menikahi lima wanita tidak halal bagi pria merdeka berdasarkan firman Allah
“maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat”
(4:3). Dan berdasarkan sabda Nabi pada sahabat Ghilaan setelah ia masuk islam
dan ia memiliki sepuluh istri “Tahanlah yang empat dan ceraikan sisanya” (HR.
Ibn Hibbaan dan Haakim)Dan tidak halal bagi pria sahaya menikahi tiga wanita
karena ia separoh pria merdeka dan sesuai kesepakatan sahabat bahwa ia memang
tidak boleh menikah lebih dari dua wanita (HR. Al-Baehaqy). (Keterangan dalam
satu akad) maka batal nikah pria merdeka dan pria yang melebihi ketentuan
diatas, bila dalam satu akad maka batal secara keseluruhannya karena tidak ada
keistimewaan hukum dari masing-masing wanita yang mereka nikahi, bila akad
nikahnya secara berturut-turut maka batal nikah mereka pada wanita yang
melebihi ketentuan di atas.
Sebuah
ibarah dalam kitab Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah XIV/379 yang menerangkan lebih
lanjut tentang praktik akad nikah dalam satu akad :
( قوله : في عقد واحد ) أما لو قال زوجتك
بنتي بألف وزوجتك أمتي بمائة فقبل البنت ثم الأمة أو قبل البنت فقط صحت البنت جزما
في الصورتين ، ولو قدمت الأمة في تفصيلهما إيجابا وقبولا صح نكاح البنت ، وكذا
الأمة فيمن يحل له نكاحها إن قبل الحرة بعد صحة نكاح الأمة
(Keterangan dalam satu akad) sedangkan bila seorang wali berkata
“aku nikahkan engkau dengan anak gadisku dengan mas kawin 1000 dan budak
wanitaku dengan mas kawin 100” kemudian pria yang dinikahkan tersebut menerima
nikah anak gadisnya dan setelahnya ia menerima wanita sahayanya, atau hanya
menerima anak gadisnya maka yang sah secara pasti dalam dua contoh diatas
pernikahan anak gadisnya, sedang bila budak wanita diperincikan pertama kali
saat ijan qabul maka nikah anak gadisnya sah begitu juga wanita sahayanya bila
ia dapat menerima dimerdekakan setelah sah nikahnya.
Hikmah Poligami
Islam memiliki risalah kemanusiaan luhur yang dibebankan kepada
kaum muslimin untuk menerapkan dan menerapkan serta menyampaikannya kepada
seluruh manusia. kaum muslimin tidak akan mampu mengemban risalah ini kecuali
jika memiliki negara yang kuat, memiliki unsur-unsur penopang negara. semua itu
bisa terlaksana kecuali dengan banyaknya
individu dimana setiap sektor kegiatan
kemusiaan terdapat banyak pekerja disana.
karena itu yang bilang, “Kemuliaan hanya bisa dicapai oleh kaum
matoritas”. dan cara u ntuk capai tingkat mayoritas tidak lain adalah melalui
pernikahan sesegera mungkin dari satu sisi dan menempuh langkah poligami disisi
lain. Negara yang mengemban risalah sering kali menghadapi dampak jihad, yatu
kehilangan individu dalam jumlah besar. Dengan demikian perlu adanya penjangan
terhadap para janda dan anak-anak yatim, serta pasukan yang gugur dijalan
Allah, tidak ada jalan lain untuk mengurus mereka dengan cara yang baik selain
dengan menikahkan mereka selepas peperangan. Jumlah janda yang mengikat ini
mengharuskan adanya poligami untuk menjamin adanya jumlah individu masyarakat
muslim yang memadai. Jika tidak seperti itu akan menimbulkan penyimpangan dan
tindakan-tindakan hina yang justru akan merusak masyarakat itu sendiri,
meruntuhkan nilai-nilai moral, atau mereka akan menghabiskan sisa hidup dalam
duka kemiskinan, sedihnya bhidup sendiri kehilangan semangat dan
kekayaanseorang wanit ayang tidak ternilai.[12]
Pada dasarnya laki-laki telah di siapkan untuk aktivitas seksual
sejak usia balig hingga usia senja,
berbeda dengan wanita yang tidak seperti itu selama masa haid dan nifas
pasca persalinan. disamping pada kondisi-kondisi kehanmilan dan menyusui istri
terkadang mandul tidak bisa memberi keturunan atau sakit yang tidak bisa lagi
diharapkan sem buh sementara saat yang bersamaan
ia masih ingin meneruskan kehidupan berumah tangga dan si suami juaga memiliki
keinginan untuk memiliki anak seperti itu juga dengna istri yang mengurus
semjua hal dirumah.
kadang
sebagian laki-laki memiliki gairah seksual yang tidak terpenuhi dengan satu
istri saja terlebih dikawasan yang bersuhu panas. Dari pada mencari simpangan
yang justru menggoyak moral ia dibolehkan untuk memuaskan hasrat yersebut
melaui jalan yang halal dan legal secara syariat.[13]
DAFTAR
PUSTAKA
Amiur
Nuruddin, Hukum perdata Islam di Indonesia. Jakarta : Prenadamedia
Group, 2016
Beni
Ahmad Saebani, fiqh munakahat 2. Bandung : cv pustaka setia, 2010
Indra Laksana dkk, Al-Qur’an
Terjemah dan Tajwid. Bandung : sygma examedia arkanleema, 2014
Sulaiman Al- Faifi, Ringkasan
Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq. Jakarta Timur : Beirut Publishing, 2014
[1] Amiur Nuruddin,
Hukum perdata Islam di Indonesia. (Jakarta : Prenadamedia Group, 2016)
hal 156
[2] Beni Ahmad
Saebani, fiqh munakahat 2. (Bandung : cv pustaka setia, 2010) 151
[3] ibid Amiur
Nuruddin, Hukum perdata Islam di Indonesia. (Jakarta : Prenadamedia
Group, 2016) hal 156
[4] Indra Laksana dkk, Al-Qur’an
Terjemah dan Tajwid. (Bandung : sygma examedia arkanleema, 2014) hal 99
[6] ibid hal 153
[7] Amir Akmal Tarigan, Hukum
Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta : Prenadamedia grup, 2016) hal 166
[8] ibid
[9] ibid hal 167
[10] ibid hal 168
[11] ibid
hal 169
[12] Sulaiman Al- Faifi, Ringkasan
Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq. (Jakarta Timur : Beirut Publishing, 2014) hal
482
[13] ibid hal 482