Senin, 23 April 2018

MAKALAH TARIKH TASYRI’ DI ERA MODEREN

di April 23, 2018 0 komentar



 MAKALAH TARIKH TASYRI’
“Lanjutan Periodisasi Perkembangan Hukum Islam (Tasyri’ Islami)”






OLEH KELOMPOK 5 :
ELLA MIANTI                      (170202010)
IQLIMA MUTMAINNAH    (170202009)
DOSEN PENGAMPU : MUHAMMAD NOR, M.HI




FAKULTAS SYARI’AH
JURUSAN AHWAL SYAKHSIYYAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2018

KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puja & puji syukur atas rahmat & ridho Allah SWT.karena tanpa rahmat & ridhoNYA ,kami tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Mohammad Nor, M.HI., selaku dosen pengampu “TARIKH TASYRI” yang membimbing kami dalam pengerjaan tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan kepada teman-teman kami yang selalu setia membantu kami dalam hal mengumpulkan data-data dalam pembuatan makalah ini.
            Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang “Lanjutan Periodisasi Perkembangan Hukum Islam (Tasyri Islami)” Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui. Maka dari itu kami mohon saran & kritik dari teman-teman maupun dosen demi tercapainya makalah yang sempurna.


Mataram, 31 Maret 2018


PENYUSUN









  
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................2
DAFTAR IS................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
           A.    Latar Belakang................................................................................................4
           B.     Rumusan Masalah.. ........................................................................................5
           C.     Tujuan.............................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
          A.    Faktor Munculnya Tasyri’ di Era Modern.......................................................6
          B.     Tanda-Tanda Tasyri’ di Era Modern................................................................7
          C.     Karakteristik perkembangan Tasyri’ di Era Modern.......................................10
          D.    Keadaan Tasyri’ di Era Modern.......................................................................11
          E.     Tarikh Tasyri’ di Indonesia..............................................................................13
BAB III PENUTUP
SIMPULAN...............................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................21












BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang

Tarikh tasyri’ dalam perjalanannya mengalami kemajuan serta kemunduran. Tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam sesudah periode Nabi Muhammad saw. jika diamati berdasarkan literatur hukum Islam, maka ditemukan beberapa pendapat berdasarkan sudut pandang, di antaranya ada pendapat yang mengungkapkan empat tahapan, yaitu: (a) Masa Khulafaurrasyidin (632 – 662 M); (b) Masa pembinaan, pengembangan dan pembukuan (abad ke-7 – 10 M); (c) Masa kelesuan pemikiran (abad ke-10 – 19 M) (d) Masa kebangkitan kembali (abad ke-19 M sampai saat ini).
Ditinjau dari sisi teori, sejarah Islam modern dimulai sejak tahun 1800 M hingga sekarang. Secara politis pada abad 18 M dunia Islam hampir dibawah kendali bangsa Barat. Namun, baru abad 20 M mulai bermunculan kesadaran di dunia Islam untuk bangkit melawan penjajahan Barat. Dalam sejarah Islam periode modern disebut dengan kebangkitan dunia Islam karena ditandai banyaknya bermunculan pemikiran pembaharuan dalam dunia Islam.
Lahirnya ide pembaharuan Islam dimulai dengan mulai sadarnya umat Islam akan tidur panjang dan mimpi indahnya, kemudian bangun dan membenahi diri serta bangkit kembali menjadi suatu kekuatan yang setidaknya setara dengan kekuatan Barat. Pada waktu itu, umat Islam sudah terpecah-pecah ada yang masih terhimpun dalam tiga kerajaan Islam, yakni Turki Usmani, Mughol dan Safawi, ada yang lepas dari tiga kekuatan itu dengan mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, ada juga yang tidak termasuk dari kedua kategori tersebut.
Ada dua peristiwa yang membuat umat Islam terbangun dan bangkit, yakni:
1.      Perang Salib.
2.      Adanya ekspansi Barat ke Timur (ekspansi Bangsa Eropa ke Asia dan Afrika).

Maka dari itu, masa modern lahir karena setelah masa transisi yang menyebabkan umat Islam terjajah oleh bangsa Barat yang menyengsarakan umat Islam. Untuk itu, guna mengatasi permasalahan tersebut, maka lahirlah Masa Modern.
Sekarang kita hidup di era yang modern, semua yang kita butuhkan langsung tersedia secara instant. Fenomena ini, bisa kita lihat di beberapa bidang. Di bidang komunikasi, saat kita dulu masih SD tidak ada orang yang megang handphone kecuali orang-orang tertentu saja, bahkan dulu TV sangat sulit kita jumpai, tetapi pada era ini anak SD pun sekarang sudah banyak yang megang HP, bahkan sekarang di desa-desa sudah ada yang namanya internet. Di bidang kedokteran, sekarang orang yang hamil bisa diketahui apakah bayinya laki-laki atau perempuan, bahkan juga bisa mengetahui istri yang sudah ditinggalkan suaminya apakah di rahimnya terdapat bayinya atau tidak. Dan di bidang-bidang yang lainya. Sejalan dengan perkembangan itu, persolan-persoalan juga semakin kompleks. Dan apakah hukum Islam bisa menjawab semua persolan-persolan itu? Dan apakah jawaban-jawaban itu masih relevan seperti zaman Nabi dan sahabat-sahabat-Nya? Dan apa yang harus dilakukan jika jawaban-jawaban itu tidak relevan lagi?

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana faktor munculnya Tasyri’ di Era Modern ?
2.      Apa saja Tanda-tanda Tasyri’ di Era Modern?
3.      Bagaimana Karakteristik perkembangan Tasyri’ di Era Modern?
4.      Bagaimana Keadaan Tasyri’ di Era Modern ?
5.      Bagaimana pertumbuhan tarikh tasyri di Indonesia?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Dapat mengetahui Faktor munculnya Tasyri’ di Era Modern
2.      Dapat mengetahui tanda-tanda Tasyri’ di Era Modern
3.      Dapat mengetahui karakteristik perkembangan Tasyri’ di Era Modern
4.      Dapat mengetahui keadaan Tasyri’ di Era Modern
5.      Dapat mengetahui tarikh tasyri di Indonesia












BAB II
PEMBAHASAN
        A.    Faktor Munculnya Tasyri’ di Era Modern[1]
Pada zaman para sahabat dahulu, apabila mereka menjumpai suatu nash dalam Al-Qur’an atau Sunnah yang menjelaskan hukum dari peristiwa yang mereka hadapi, mereka berpegang teguh pada nash tersebut dan mereka berusaha memahami maksudnya untuk menerapkannya pada peristiwa-peristiwa itu. Apabila mereka tidak menjumpai dalam nash maka mereka berijtihad untuk menetapkan hukumnya. Dalam berijtihadnya mereka berpegang pada kemampuan mereka dalam bidang syari’at. Karena ijtihad pada zaman modern ini merupakan suatu kebutuhan, bahkan merupakan suatu keharusan bagi masyarakat yang ingin hidup pada masa Islam. Sedangkan di zaman modern ini, kemajuan pesat yang terjadi dalam bidang pengatahuan dan teknologi menimbulkan perubahan-perubahan besar dalam segala bidang kehidupan manusia. Kalau pada masa awal Islam masih menggunakan pedang, sekarang sudah menggunakan senjata canggih. Begitu juga dengan transportasi, pada awal mula Islam. Jelasnya dengan kemunculan ilmu pengetahuan dan teknologi banyak sekali muncul hal baru dalam kehidupan manusia dan menimbulkan perubahan-perubahan  baru dalam masyarakat, baik perubahan struktur sosial dan munculnya masalah-masalah baru seperti masalah trannfusi darah, bayi tabung dan lain-lain yang perlu diatur dan diselesaikan sesuai dengan kaidah Islam.
Agar agama Islam mampu menghadapi perkembangan zaman, maka hukum Islam perlu dikembangkan dan pemahaman tentang Islam harus terus menerus diperbaharui dengan memberikan penafsiran-penafsiran terhadap nash syara’ dengan cara menggali kemungkinan atau alternatif dalam syari’at yang diyakini bisa menjawab masalah-masalah baru. Jadi, pembaharun hukum Islam dimaksudkan agar hukum Islam tidak ketinggalan zaman dan mampu menjawab pertanyaan yang berkesinambungan di dalamnya.
Lahirnya ide pembaharuan Islam dimulai sadarnya umat Islam akan tidur panjang dan mimpi indahnya, kemudian bangun dan membenahi diri serta bangkit kembali menjadi suatu kekuatan yang setidaknya setara dengan kekuatan Barat. Pada waktu itu, umat Islam sudah terpecah-pecah ada yang masih terhimpun dalam tiga kerajaan Islam, yakni Turki Utsmani, Mughol dan Safawi, ada yang lepas dari tiga kekuatan itu dengan mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, ada juga yang tidak termasuk dua kategori tersebut.
Di awal fase ini, mulai bangkit semangat kebangsaan, artinya manusia lebih cenderung untuk menghimpun diri dalam suatu kesatuan berdasarkan suku bangsa (nation state) ketimbang terhimpun dalam suatu kesatuan berdasarkan agama (religion state). Namun, yang menarik adalah hampir seluruh suku bangsa yang dijajah menganut agama Islam, melakukan perjuangan yang berbarengan untuk memperjuangkan lahirnya sebuah negara bangsa yang berdaulat di satu sisi, disisi lain agama juga sedang giat melakukan modernisasi.
Dan tidak jarang dalam proses lahirnya sebuah negara bangsa ini tampillah tokoh-tokoh agama sebagai pioner perjuangannya. Hal ini, disebabkan karena bangsa Barat dianggap menginjak-injak nilai kehormatan suatu bangsa yang dikuasainya dan mengusik agama (Islam) yang dianut oleh bangsa tersebut.
Ada dua peristiwa yang membuat umat Islam terbangun dan bangkit, yakni:
       a.     Perang Salib. Perang ini merupakan peperangan yang banyak memakan waktu, biaya, dan korban baik korban jiwa maupun korban harta. Tetapi, disamping hal yang merugikan, ada faktor positif dari Perang Salib ini, yakni kedua belah pihak berupaya mencari tahu dan mengenal pihak lawannya secara baik. Dan ini merupakan awal dari sebuah dialog.
b       b.  Adanya ekspansi Barat ke Timur (ekspansi Bangsa Eropa ke Asia dan Afrika). Diketahui bahwa Barat kebanyakan menganut agama Kristen dan Timur kebanyakan menganut agama Islam, sehingga keduanya pun mengalami kontak yang tidak dapat dihindarkan. Di sisi lain, Barat adalah negara-negara yang telah mencapai kemodernan dan kemajuan di segala bidang, sedangkan Timur adalah masih tradisional dan terbelakang. Misi yang diemban Barat adalah melakukan tiga hal: grory, gold dan gospel.
Menghadapi benturan dua peradaban  (Islam-Kristen, Timur-Barat) ini lahirlah tiga reaksi dari umat Islam, yaitu :
       1.)    Pemahaman yang didasarkan pada anggapan bahwa Bangsa Barat adalah bangsa yang lebih unggul dari Islam, supaya Islam pun unggul seperti mereka, maka Islam perlu mencontoh Barat dari segala aspeknya. 
       2.)    Anggapan bahwa umat Islam harus yakin bahwa Islam itu agama yang benar tak mungkin salah dan kalah oleh yang lain.
      3.)    Sebagian kelompok memberikan pernyataan bahwa mereka harus yakin bahwa Islam adalah agama yang benar, kapanpun dan dimanapun. Bahkan pada masa lampau umat Islam pernah mencapai kejayaan yang gilang gemilang. Namun, karena Umat Islam meninggalkan ajarannya dan merasa puas dengan apa yang mereka dapatkan, menjadikan umat Islam terlena dan tertidur pulas.

        B.     Tanda-Tanda Tasyri’ di Era Modern[2]
Tanda-tanda kebangkitan hukum Islam pada masa modern dapat kita lihat pada sistem mempelajari dan segi-segi penulisan tentang hukum Islam, kedudukan hukum-hukum Islam dalam perundang-udangan negara, dan penilaian orang-orang orientalis terhadap hukum Islam. Atas dasar segi-segi tersebut maka tinjauan berikut ini diadakan.
  1. Sistem Mempelajari dan Menuliskan Hukum-Hukum Islam
Kebangunan hukum Islam pada masa modern banyak bergantung kepada cara mempelajarinya, yaitu sistem perbandingan. Yakni mempelajari hukum-hukum Syara’ dengan berbagai pendapat tentang satu persoalan dan alasannya masing-masing, serta aturan-aturan dasar yang menjadi pegangannya. Kemudian pendapat-pendapat tersebut diperbandingkan satu sama lain, untuk di pilih pendapat mana yang lebih benar dan diperbandingkan pula dengan hukum positif. Di sana tidak hanya satu madzab saja yang dikaji dan dipelajari, akan tetapi keempat aliran hukum ahlussunah wal jama’ah. Memang para fuqaha masa-masa dahulu sudah mengenal sistem perbandingan hukum dengan menyebutkan pendapat berbagai ulama mujtahidin meskipun dalam bentuk yang sederhana. Akan tetapi semenjak abad ke empat hijriah dengan mengecualikan karya Ibnu Rusyd yang sangat bernilai yaitu Bidayatul Mujtahid, perbandingan tersebut hanya di maksudkan untuk mengadakan pembelaan terhadap pendapat imam yang dianutnya dan mengusahakan melemahkan pendapat imam lain. Oleh karena itu, maka tidak ada penguatan (tarjih) suatu pendapat atas pendapat lain karena kekuatan dalil itu sendiri. Selanjutnya kemungkinan untuk mencari pendapat yang lebih tepat dan yang lebih sesuai dengan rasa keadilan orang banyak tidak ada lagi. Karena penguatan salah satu pendapat dalam hukum Islam hanya terjadi dalam lingkungan satu mazhab.
Apa yang menyebabkan tidak adanya sistem perbandingan antara pendapat-pendapat fuqaha antara mazhab ialah karena adanya fatwa untuk bertaqlid semata-mata, dan taqlid inipun harus terbatas dalam lingkungan mazhab empat saja yang suda terkenal dan di setujui oleh golongan Ahlussunnah. Bahkan di fatwakan pula, bahwa bagi orang-orang yang sudah mengikuti mazhab tertentu tidak boleh berpindah kepada mazhab lain ataupun mengikuti mazhab lain pula dalam waktu yang sama, kecuali dengan syarat-syarat tertentu. Fatwa lain ialah bahwa fuqaha-fuqaha yang datang kemudian tidak boleh meninjau kembali apa yang telah di putuskan oleh fuqaha-fuqaha angkatan terdahulu.
  1. Kedudukan Hukum-Hukum Islam dalam Perundang-undangan Negara
      

Usaha-usaha perundang-undangan negara sebenarnya sudah pernah dilakukan beratus-ratus tahun yang lalu, seperti yang diperbuat oleh Ibnul Muqoffa’ pada abad kedua Hijrah, di masa Khalifah Abbasiyah. Ia pernah mengirim surat kepada Khalifah Al- Mansyur untuk membuat suatu Undang-undang yang diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah, dan apabila tidak ada nas pada keduanya bisa diambil dari fikiran dengan syarat bisa mewujudkan rasa keadilan dan kepentingan orang banyak. Surat tersebut dikirim karena adanya perbedaan pendapat antara para fuqoha dan hakim dalam memutuskan suatu masalah yang sama. Akan tetapi surat tersebut tidak mendapatkan sambutan yang cukup pada masa itu, karena para fuqoha tidak mau memaksa orang untuk mengikuti pendapat-pendapatnya, serta memperingatkan murid–muridnya untuk tidak berfanatik buta serta mengingatkan bahwa ijtihad–ijtihad yang dilakukan bisa kemasukan salah.
Pada abad kesebelas Hijrah, As-Sultan Muhammad Alamkir (1038-1118 H), salah seorang raja India, membentuk suatu panitia yang terdiri dari ulama-ulama India terkenal dengan diketuai oleh Syekh Nazzan. Panitia tersebut diberi tugas untuk membuat satu kitab yang menghimpun riwayat-riwayat yang disepakati oleh madzab Hanafi; Kitab tersebut terkenal dengan nama: ”Al-Fatawi al Hindiyah” (fatwa-fatwa India).
  1. Penilaian Orang – Orang Orientalis Terhadap Hukum Islam

Perhatian orang-orang orientalis (orang-orang Barat yang suka mempelajari apa yang berasal dari Timur) terhadap peninggalan-peninggalan Islam pada umumnya berasal dari abad-abad pertengahan, ketika mereka hendak mengetahui faktor-faktor kebesaran kaum muslimin sehingga mereka bisa memegang tampuk pimpinan dunia pada waktu itu.
Perhatian para orientalis tersebut diwujudkan dalam bentuk mempelajari, menyelidiki, menerjemahkan dan membahas, serta menerbitkan terhadap berbagai buku fiqh standart. Tidak sedikit juga yang mendalami persoalan hukum Islam baik dalam bentuk buku-buku yang mereka tulis atau pembahasan-pembahasan yang mereka muatkan majalah-majalah khusus mengenai hukum.
Dengan mengesampingkan beberapa orientalis yang sengaja memberikan gambaran yang salah, maka banyak penghargaan yang tinggi terhadap hukum Islam sudah banyak diberikan oleh sarjana-sarjana hukum Eropa dan Amerika. Antara lain Kohler dari Jerman, Wignore dari Amerika, dan Delvices. Sarjana-sarjana ini menyebutkan adanya flexibilitas dan kemampuan yang dimiliki hukum Islam sehingga bisa mengikuti perkembangan masa. Mereka juga mensejajarkan hukum Islam dengan hukum Romawi dan hukum Inggris, sebagai hukum-hukum yang telah menguasai dunia dan yang masih terus menguasainya. Penghargaan terhadap hukum Islam tersebut dikemukakan sendiri oleh Sarjana Hukum Barat terkenal dari Perancis, yaitu Lambert, dalam Seminar Internasional untuk Perbandingan Hukum, yang diadakan pada tahun 1932.
       C.    Karakteristik perkembangan Tasyri’ di Era Modern[3]
Beberapa karakteristik kebangunan kembali tasyri’ Islam antara lain adalah: 
     1.      Munculnya semangat tajdid, atau yang sering disebut sebagai pembaharuan sebagai manifestasi dari seruan terbukanya kembali ijtihad di kalangan orang muslim. Terminologi tajdid berasal dari kata jadda yajiddu jiddatan wa tajdiidan yang berarti pembaharuan. Tradisi pembaharuan ini pada hakikatnya menggambarkan usaha perseorangan atau kelompok untuk mewujudkan Islam secara terang-terangan dan tegas sesuai dengan wahyu Allah dan sunnah Nabi Muhammad SAW, tanpa adanya sesuatu yang mengada-ada.  Tajdid dalam konteks ini meliputi upaya keimana, seruan kembali kepada al-qur’an dan al-Hadits, dengan demikian masyarakat muslim ketika itu memiliki dasar paradigmatic keagamaan yang kokoh.
      2.    Munculnya jargon kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Pada hakikatnya apa yang disebut dengan pembaharuan atau yang identik dengan kebangkitan hanya akan terjadi jika tradisi dasar yang mendasari gerak secara total telah ada dan telah dirumuskan. Dengan berdasar pada dua sumber sebagai dasar paradigma kehidupannya, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits maka masyarakat muslim baru dapat menggunakannya sebagai dasar penilaian dan dasar menemukan hokum suatu permasalahan, perkara, peristiwa, dan praktik-praktik yang terjadi dalam masyarakat. Atas dasar itu John L. Esposito mengatakan bahwa dengan adanya dasar dua sumber tersebut memungkinkan dikeluarkan seruan membentuk kembali masyarakat atas dasar ketetapan yang ada dalam kitab suci.
    3.  Dibukanya kembali pintu ijtihad, secara bahasa ia berarti upaya sungguh-sungguh untuk merealisasikan salah satu permasalahan. Sedangkan secara istilahi M. al-Khudlary mengatakan bahwa ijtihad adalah aktivitas untuk memperoleh pengetahuan istinbath hokum syara’dari dalil-dalil terperinci dalam syari’ah. Sebab ketika itu, ijtihad telah ditutup. Dengan demikian aktifitas kreatif dan dinamis melakukan istimbat hokum dalam masyarakat otomatis terjadi stagnan. Tentu saja dengan kondisinya seperti itu para ulama ketika itu tidak dapat melakukan aktivitas apa-apa. Dengan demikian apa yang disebut sebagai proses tasyri’ atau penetapan hokum ketika itu tidak mengalami perkembangan sama sekali.
      4.     Berkembangnya tasyri’ pada masa modern. Banyak beberapa masail fiqhiyah yang belum pernah muncul pada masa-masa sebelumnya, pada masa modern ini berkembang. Suatu contoh persoalan perubahan kelamin, pencangkoan jantung, cloning, nikah melalui SMS,  dan masih banyak permasalahan-permasalahan hukum yang lain yang harus diselesaikan pada era itu. Yang hingga kini masih menyisakan persolan tersendiri.

        D.    Keadaan Tasyri’ di Era Modern
Pada saat ini banyak pemandangan yang sering kita lihat, bukan hanya di dunia Barat, bahkan di dunia Muslim saat ini telah banyak mengalami perubahan dalam segala bidang. Baik itu yang berasal dari diri muslim sendiri maupun dari luar. Di era modern yang banyak mengalami perubahan ini perlu adanya pembaharuan hukum Islam. Namun dalam pembaharuan hukum Islam tidak boleh merubah hukum yang ada, artinya kita hanya boleh menetapkan hukum baru yang belum ada pada masa Rasul dan sahabat sedangkan hukum yang telah ada tidak boleh dirubah ataupun diperbaharui. Pembaharuan hukum Islam terdiri dari dua kata, yaitu “pembahuruan” yang berarti modernisasi, atau suatu upaya yang dilakukan untuk mengadakan atau menciptakan suatu yang baru; dan “hukum Islam”, yakni koleksi daya upaya para ahli hukum untuk menerapkan syariat atas kebutuhan masyarakat. Dalam hal ini hukum Islam lebih didekatkan dengan fiqih, bukan syariat.
Dari sejarah di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa hukum Islam itu harus dinamis, sehingga tidak luput dari suatu pembaharuan. Untuk melakukan suatu pembaharuan hukum Islam di zaman modern yang penuh dengan anggapan ataupun kesalahpahaman tentang pemahaman yang harusnya tidak dipermasalahkan lagi dalam agama kita ini maka harus ditempuh melalui beberapa metode. Dalam hal ini Ibrahim Hosen seorang ahli hukum Islam Indonesia menawarkan langkah-langkah sebagai berikut:
        1.      Pemahaman baru terhadap Kitabullah
Untuk mengadakan pembaharuan hukum Islam, hal ini dilakukan dengan direkonstruksi dengan jalan mengartikan al-qur’an dalam konteks dan jiwanya. Pemahaman melalui konteks berarti mengetahui asbab an-nusul. Sedangkan pemahaman melalui jiwanya berarti memperhatikan makna atau substansi ayat tersebut. Perlu ditekankan bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum yang pertama dan utama sebagaimana yang diungkapkan Allah dalam Surah An-Nisaa’.
Artinya:           
”Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat”. (Q.S. An-Nisa': 105 ). 
        2.      Pemahaman baru terhadap Sunah
Sunnah adalah sumber kedua dalam syaria. Ia menjadi bagi Al-Qur’an, tapi juga memberikan dasar bagi munculnya hukum baru. Pemahaman baru terhadap Sunnah, dapat dilakukan dengan cara mengklasifikasikan sunnah, mana yang dilakkan Rasulullah dalam rangkka Tasyri’ Al-Ahkam (penetapan hukum) dan mana pula yang dilakukannya selaku manusia biasa sebagai sifat basyariyyah (kemanusiaan). Sunnah baru dapat dijadikan pegangan wajib apabila dilakukan dalam rangka Tasyri’ Al- Ahkam. Sedangkan yang dilakukannya sebagai manusia biasa tidak wajib diikuti, seperti kesukaaan Rosulullah SAW kepada makanan yang manis, pakaian yang berwarna hijau dan sebagainnya. Disamping itu sebagaimana Al-Qur’an, Sunnah juga harus dipahami dari segi jiwa dan semangat atau substansi yang terkandung di dalamnya.
       3.      Pendekatan ta’aqquli (rasional)
Ulama’ terdahulu memahami rukun Islam dilakukan dengan Taabbudi yaitu menerima apa adanya tanpa komentar, sehingga kwalitas illat hukum dan tinjauan filosofisnya banyak tidak terungkap. Oleh karena itu pendekatan ta’aquli harus ditekankan dalam rangka pembaharuan hukum Islam (ta’abadi dan ta’aqquli). Dengan pendekatan ini illat hukum hikmahat-tashih dapat dicerna umat Islam terutama dalam masalah kemasyarakatan.
       4.      Penekanan zawajir (zawajir dan jawabir) dalam pidana
Dalam masalah hukum pidana ada unsur zawajir dan jawabir. Jawabir berarti dengan hukum itu dosa atau kesalahan pelaku pidana akan diampuni oleh Allah. Dengan memperhatikan jawabir ini hukum pidana harus dilakukan sesuai dengan nash, seperti pencuri yang dihukum dengan potong tangan, pezina muhsan yang dirajam, dan pezina ghoiru muhsan didera. Sedangkan zawajir adalah hukum yang bertujuan untuk membuat jera pelaku pidana sehingga tidak mengulanginya lagi. Dalam pembaharuan hukum Islam mengenai pidana, yang harus ditekakankan adalah zawajir dengan demikian hukum pidana tidak terikat pada apa yang tertera dalam nash.
       5.      Masalah ijma
Pemahaman yang terlalu luas atas ijma dan keterikatan kepada ijama harus dirubah dengan menerima ijmak sarih, yang terjadi dikalangan sahabat (ijma sahabat) saja, sebagaimana yang dikemukakan oleh As-Syafi’i kemungkinan terjadinya ijma sahabat sangat sulit, sedangkan ijma sukuti (ijma diam) masih diperselisihkan. Disamping itu, ijma yang dipedomi haruslah mempunyai sandaran qat’i yang pada hakikatnya kekuatan hukumnya bukan kepada ijma itu sendiri, tetapi pada dalil yang menjadi sandaranya. Sedangkan ijma yang mempunyai sandaran dalil zanni sangat sulit terjadi.
       6.      Masalik al-‘illat (cara penetapan ilat)
     Kaidah-kaidah yang dirumuskan untuk mendeteksi illat hukum yang biasanya dibicarakan dalam kaitan dengan qiyas. Dalam kaidah pokok dikatakan bahwa “hukum beredar sesuai dengan ilatnya”. Ini ditempuh dengan merumuskan kaidah dan mencari serta menguji alit yang benar-benar baru.
       7.      Masalih mursalah
Dimana ada kemaslahatan disana ada hukum Allah SWT adalah ungkapan popular dikalangan ulama. Dalam hal ini masalih mursalah dijadikan dalil hukum dan berdasarkan ini, dapat ditetapkan hukum bagi banyak masalah baru yang tidak disinggung oleh al-qur’an dan sunah.
        8.      Sadd az-zari’ah
Sadd az-zari’ah berarti sarana yang membawa ke hal yang haram. Pada dasarnya sarana itu hukumnya mubah,akan tetapi karena dapat membawa kepada yang maksiat atau haram, maka sarana itu diharamkan. Dalam rangka pembaharuan hukum Islam sarana ini digalakkan.
       9.      Irtijab akhalf ad-dararain
Dalam pembaharuan hukum Islam kaidah ini sangant tepat dan efektif untuk pemecahan masalah baru. Umpamanya perang di bulan muharram hukumnya haram, tetapi karena pihak musuh menyerang, maka boleh dibalas dengan berdasarkan kaidah tersebut, karena serangan musuh dapat menggangu eksistensi agama Islam.
       10.  Keputusan waliyy al-amr
Atau disebut juga ulil amri yaitu semua pemerintah atau penguasa, mulai dari tingkat yang rendah sampai yang paling tinggi. Segala peraturan Undang-Undangan wajib ditaati selama tidak bertentangan dengan agama. Hukum yang tidak dilarang dan tidak diperintahkan hukumnya mubah. Contohnya, pemerintah atas dasar masalih mursalah menetapkan bahwa pembatasan umur calon mempelai laki-laki dan perempuan yaitu perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.
       11.  Memfiqhkan hukum qat’i
Kebenaran qat’i bersifat absolut. Sedangkan kebenaran fiqh relative. Menurut para fukaha, tidak ada ijtihad terhadap nas qat’i (nas yang tidak dapat diganggu gugat). Tetapi kalau demikian halnya, maka hukum Islam menjadi kaku. Sedangkan kita perpegang pada motto: al-Islam salih li kulli zaman wa makan dan tagayyur al-ahkam bi tagayyur al-amkinah wa al-zaman. Untuk menghadapi masalah ini qat’i diklasifikasikan menjadi: Qat’i fi jami’ al-Ahwal dan Qot’i fi ba’d al-Ahwal. Pada qot’I fi al-Ahwal tidak berlaku ijtihad, Sedangkan pada qot’I fi ba’d al-Ahwal ijtihad dapat diberlakukan. Tidak semua hukum qat’I dari segi penerapanya (tatbiq) berlaku pada semua zaman.

      E.     Tarikh Tasyri’ di Indonesia[4]
Perkembangan pembaruan Hukum Islam di Indonesia. Ada tiga priode perkembangan pembaharuan hukum Islam di Indonesia yaitu :
      1.      Priode Awal – 1945 : Pergeseran Dalam Hukum Yang Berlaku
Hukum Islam di Indonesia merupakan gabungan tiga hukum yang berlaku, yaitu hukum adat, hukum islam, dan hukum barat. kedudukannya disebutkan dalam peraturan perundang-undangan yang dikembangkan oleh ilmu pengetahuan dan praktek peradilan. Hukum Islam masuk di Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Islam. Kerajaan-kerajaan Islam yang kemudian berdiri melaksanakan hukum islam diwilayahnya masing-masing. kerajaan-kerajaan itu, misalnya samudra Pasai di Aceh Utara pada akhir abad XIII, diikuti diantaranya Demak, Jepara, Tuban dan Gresik.
Pada zaman VOC, kedudukan hukum islam dalam bidang kekeluargaan diakui bahkan dikumpulkan dalam sebuah peraturan yang dikenal dengan Compendium freijer. Demikian juga dikumpulkan hukum perkawinan dan kewarisan islam di daerah Ciirebon, Semarang dan Makassar.
Pada zaman penjajahan Belanda mula-mula hukum islam bertumpu pada pikiran Sholten van Haarlem diakui oleh pemerintah hindia belanda secara tertulis dengan istilah godsdien wetten sebagaimana terlihat  pada pasal 75 (lama) Regeering Reglemen tahun 1985 peradilan yang di peruntukan bagi mereka yang telah ditentukan, yaitu pristerad (Pengadilan agama, stbl 1882, No. 152 jo 1937 no 116 dan 610 untuk Jawa Madura dan kerapatan Qadli; stbl 1937 No. 638 dan 639 untuk kalimantan seatan dan timur). kemudian setelah merdeka pengadilan agma atau mahkamah syariah ( PP No 45/1957 untuk daerah luar jawa Madura dan kalimantan selatan dan timur).
        2.      Periode 1945 – 1985 : Pergeseran Bentuk Ke Hukum Tertulis
Meskipun kedudukan hukum islam sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas pada masa awal orde ini, namun upaya-upaya untuk mempertegas tetap terus dilakukan. Hal ini ditunjukkan  oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang mentri agama dari kalangan Muhammadiyah yang mencoba mengajukan rancangan Undang-undang perkawinan umat islam dengan dukungan kuat fraksi-fraksi islam di DPR. Meskipun gagal upaya ini kemudian dilanjudkan dengan mengajukan rancangn hukum formil yang mengatur lembaga peradilan di Indonesia pada tahun 1970. upaya ini kemudian membuah hasil dengan lahirnya UU No14/1970 yang mengakui pengadilan agama sebagai salah satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Melalui UU ini, menurut Hazairin, hukum islam dengan otomatis telah berlaku secara langsung sebagai hukum yang berdiri sendiri.
Pemerintah RI menemukan kenyataan bahwa hukum islam yang berlaku itu tidak tertulis dan terserak dibeberapa kita yang menjadi perbedaan antar umat islam. Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 dan No. 23 Tahun 1954 dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan mendesak akan adanay kesatuan dan kepastian hukum dalam pencatatn nikah, talak, dan rujuk yang masih diaautr dalam beberapa peraturan yang bersifat propensialistis dan tidak sesuai dengan Negara RI sebagai negara kesatuan. Peraturan-peratuaran teersebut ialah Huwellijksordonnannties S. 1929 No. 348 jo S. 1933 No 98 dan Huwellijksordonnanntie Buitengewesten  S. 1932 No. 428. 

      3.      Periode 1985-Sekarang: Menuju Periode Taqnin
Periode ini dimulai sejak ditandatangi Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung Dan Menteri Agama RI Tentsng Penunjukan Pelaksanaan Proyek Pe,Bangunan Hukum Islam Melalui Yurisprudensi No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1985 tanggal 25 maret 1985 di Yogyakarta.
      1.      Latar Belakang Gagasan Kompilasi Hukum Islam
Ide kompilasi  hukum islam timbul setelah  beberapa tahun Mahkamah Agung membina bidang teknis yustisial peradilan agama. tugas pembinaan ini didasarkan pada UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Pasal II ayat (1) yang menyatakan bahwa organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan dilakukan oleg departemen masing-masing; sedangkan pembinaan teknis yustisial dilakukan oleh Mahkamah Agung. meskipun undang-undang tersebut ditetapkan tahun1970, namun pelaksanaannya di lingkungan peradilan aagama baru pada tahun 1983, setelah penandatanganan SKB Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI No. 01, 02, 03, dan 04/SK/1-1983 DAN NO. 1,2,3, dan 4 Tahun 1983. keempat SKB ini merupakan jalan pintas sambil menunggu keluarnya undang-undang tentang susunan, kekuasaan, dan acara pada pradilan agama yang merupakan peraturan pelaksanaan UU No. 14 Tahun 1970 bagi lingkungan peradilan agma yang pada saat itu masih sedang dalam proses penyususnan yang intersif.
    2.      Gagasan dasar komplikasi hukum islam
Prof. H. Busthanul Arifin, S.H, sebagai pencetus gagasan  KHI memapakarkan beberapa hal, antara lain:
a.    Untuk dapat belakunya  hukum (islam) di Indonesia, harus ada hukum yang jelas dan dapat dilaksanakan, baik oleh aparat penegak hukum maupun masyarakat.
b.    Persepsi yang seragam tentang syariat sudah dan akan menyebabkan hal-hal berikut ini.
1)   Ketidakseragaman dalam menentukan apa yang  disebut dengan hukum islam itu.
2)   Tidak ada kejelasan bagaimana cara menjalankan syariat.
3)   Tidak mampu menggunakan sarana dan alat yang telah tersedia dalam UUD 1945 dan perundang-undangan lainnya.
c.    Sejarah mencatat bahwa hukum islam pernah diberlakukan sebagai perundang-undangan negara, yaitu:
1)   Di India, Raja al-Rajeb membuat dan memberlakukan perundang-undangan islam yang terkenal dengan Fatwa Alamfiri.
2)   Di Kerajaan Turki Utsmani, dikerajaan ini hukum islam dikenal dengan nama Majallahb Al-Ahkam Al-Adliyah
3)   Di Sudan, pada tahun 1983, hukum islam di negara ini dikodifikasikan.
Apa yang telah dilakukan Departemen Amana pada Tahun 1958 dengan membatasi hanya 13 kitab kuning adalah upaya menuju ke arah kesatuan dan pastian hukum yang sejalan denngan apa yang dilakukan dinegara-negara tersebut. Dari sanalah kemudian timbul gagasan untuk membuat Komplikasi Hukum Islam sebagai buku hukum bagi  pengadilan agama.
d.   Landasan Yuridis
Landasan Yuridis tentang perlunya hakim memerhatikan kesadaran hukum masyarakat adalah UU No. 14/1970 pasal 20 ayat (1) yang berbunyi, “Hukum sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Sementara itu, didalam fiqih ada kaidah yang mengatakan, “Hukum Islam  dapat berubah karena perubahan waktu, tempat, dan keadaan .” keadaan masyarakat itu selalu berubah dan ilmu fiqh itu sendiri selalu berkembang karena menggunakan metode-metode yang sangat memerhatikan rasa keadilan masyarakat. Diantara metode-metode itu adalah maslahah mursalah, istihsan, istishab, dan ‘urf.
e.    Landasan Fungsional
Komplikasi Hukum Islam adalah fiqh Indonesia yang disusun dengan memerhatikan kondisi kebutuhan hukum umat islam Indonesia. Fiqh Indonesia, sebagaimana yang pernah dicetuskan oleh Prof. Hazairin, S.H., dan Prof. T.M. Hasbi Ash- sShiddieqy sebelumnya mempunyai tipe fiqh lokal, semacam fiqh Hijazi, fiqh Mishri, dan fiqh Hindi yang sangat memerhatikan kebutuhan dan kesadaran hukum masyarakat setempat. Ini bukanlah mazhab, melainkan upaya unifikasi mazhab dalam hukum islam.
        3.      Realisasi Komplikasi Hukum Islam
a.    Proses pembentukan Komplikasi Hukum Islam
Pembentukan Komplikasi Hukum Islam dilaksanakan oleh Tim pelaksanaan proyek yang ditunjuk dengan SKB ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No. 25 Tahun 1965 tanggal 25 Maret 1985. Dalam SKB tersebut, ditentukan para pejabat MA dan Depag yang ditunjuk beserta jabatannya masing-masing dalam proyek. pemimpin umum dipegang oleh Prof. H. Bustanil Arifin, Ketua Muda MA RI urusan lingkungan peradilan agama, dan H. Zaini Dahlan, M.A. sebagai wakilnya.
Tugas pokok proyek adalah melaksanakan usaha pembangunan hukum islam melalui yurisprudensi dengan jalan komplikasi hukum. Sasarannya adalah mengkaji kitab-kitab yang dipergunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia menuju hukum nasional.
Untuk menyelenggarakan tugas pokok tersebut, proyek pembanggunan hukum islam dilakukan dengan cara pengumpulan data, wawancara, lokakarya, dan studi banding.
b.    Pelaksanaan proyek
Pelaksanaan proyek dilakukan melalui empat jalur, yaitu jalur penelitian kitab, pengelolaan data hasil penelitian, lokakarya, dan Inpres No. 1 Tahun 1991. Berikut ini penjelasannya.
1)   Jalur Penelitian Kitab
Pokok hukum yang diteliti sebanyak 160 masalah hukum keluarga, seperti perkawinan, kewarasan, wasiat, hibah, wakaf, dan sedekah. Kitab yang diteliti sebanyak 38 kitab dan dilakukan oleh 10 IAIN di Indonesia mulai 7 Maret sampai 21 juni 1985. tidak hanya itu, metode lain yang ditempuh adalah sebagai berikut:
a)    wawancara dilakukan terhadap para ulama di 10 lokasi pengadilan tinggi agama di berbagai daerah, mulai dari aceh sampai mataram
b)   penelitian yurisprudensi dilaksanakan oleh direktorat pembinaan badan peradilan agama yang telah dihimpun dalam 16 buku.
c)    studi perbandingan dilakukan diberbagai negara di timur tengah seperti maroko, turki dan mesir
2)   Pengolahan data hasil penelitian
Hasil penelaahan kitab, wawancara, penelitian yurisprudensi, dan studi banding diolah oleh tim besar. Setelah itu, dibahas dan diolah oleh tim kecil, seperti Prof. H. Bustanil Arifin, Prof. H. M. D. Kholid, S.H, H. Masrani Basran, S.H., M Yahya Harahap, S.H., H. Zaini Dahlan, M.A dan H. A. Wasiat Aulawi, M.A. Tim kecil selajutnya menghasilkan tiga buku naskah rancangan hukum islam, yaitu:
a)    buku pertama tentang perkawinan
b)   buku kedua tentang kewarisan, dan
c)    buku ketiga tentang perwakafan.
Rancangan komplikasi hukum islam ini selesai disusun dalam kurun waktu dua tahun sembilan bulan setelah emngadakan rapat sebanyak dua puluh kali. Untuk itu pada tanggal 29 desember 1987, Rancangan Komplikasi Hukum Islam secara resmi diserahkan kepada ketua mahkamah agung dan menteri agama.
3)  Lokakarya
Pada upacara penyerahan naskah Rancangan KomplikasinHukum Islam, dilakukan penandatangan SKB oleh ketua Mahkamah Agung, H. Ali Said, S.H dan mentri agama, H. Munawir Syadzali, M.A tentang pelaksanaan lokakarya.
Lokakarya dilakukan pada tanggal 2 – 6 februari 1988 untuk mendengarkan komentar akhir para ulama dan cendekiawan muslim. Mereka yang hadir sebanyak 126 oranga dari daerah penelitian dan wawancara.
4)   Inpres No. 1 Tahun 1991
Setelah naskah akhir kompliksi hukum islam menglammi penghalusan redaksi oleh tim besar, selajutnya disampaikan kepada Presiden RI oleh menteri Agama denagn surat tanggal 14 maret 1988 No. MA/123/1988 agar memperoleh bentk yuridis untuk digunakan dalam praktik dilingkungan peradilan agama. selanjutnya, lahirlah inpres No. 1 tahun 1991 yang dalam diktumnya menyatakan, “mengintuksikan kepaadaa mentri agama untuk meyebarluaskan komplikasi hukum islam yang terdiri atas tiga buku untuk digunakan oleh instansi pemerintah dan masyarakat yang memerlukannya.”
Untuk melaksanakan intruksi tersebut, mentri agama mengeluarkan surat keputusan No. 154 tahun 1991 tanggal 22 juli 1991 kepada seluruh instansi departemen agama dan instansi pemerintah terkait agar menyebar luaskan an menggunakannya dalam masalah keluarga. Direktur Jenderal pembinaan kelembagaan agma islam dan urusa haji, mengoordinasikan pelaksannan keputusan mentri agma RI dalam bidangnya masing-masing.
Dengan mengeluarkan intruksi presiden dan keputusan mentri agama tersebut, komplikasi hukum islam telah mendapatkan pengesahan untuk dipergunakan sebagai pedoman, baik bagi para hakim dilingkungan peradilan agma dan instansi lain dalam tugasnya sehari-hari maupun masyarakat yang memerlukannya.


BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
1.    Faktor tarikh tasyri’ di era moderen
Agar agama Islam mampu menghadapi perkembangan zaman, maka hukum Islam perlu dikembangkan dan pemahaman tentang Islam harus terus menerus diperbaharui dengan memberikan penafsiran-penafsiran terhadap nash syara’ dengan cara menggali kemungkinan atau alternatif dalam syari’at yang diyakini bisa menjawab masalah-masalah baru. Jadi, pembaharun hukum Islam dimaksudkan agar hukum Islam tidak ketinggalan zaman dan mampu menjawab pertanyaan yang berkesinambungan di dalamnya Lahirnya ide pembaharuan Islam dimulai sadarnya umat Islam akan tidur panjang dan mimpi indahnya, kemudian bangun dan membenahi diri serta bangkit kembali menjadi suatu kekuatan yang setidaknya setara dengan kekuatan Barat. Pada waktu itu, umat Islam sudah terpecah-pecah ada yang masih terhimpun dalam tiga kerajaan Islam, yakni Turki Utsmani, Mughol dan Safawi, ada yang lepas dari tiga kekuatan itu dengan mendirikan kerajaan-kerajaan kecil, ada juga yang tidak termasuk dua kategori tersebut.
2.    Tanda- tanda tasyri’ di era modern
Tanda-tanda kebangunan hukum Islam pada masa modern dapat kita lihat pada sistem mempelajari dan segi-segi penulisan tentang hukum Islam, kedudukan hukum-hukum Islam dalam perundang-udangan negara, dan penilaian orang-orang orientalis terhadap hukum Islam.
3.    Karakteristik perkembangan Tasyri’ di Era Modern
Munculnya semangat tajdid, atau yang sering disebut sebagai pembaharuan sebagai manifestasi dari seruan terbukanya kembali ijtihad di kalangan orang muslim. Munculnya jargon kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadits. Pada hakikatnya apa yang disebut dengan pembaharuan atau yang identik dengan kebangkitan hanya akan terjadi jika tradisi dasar yang mendasari gerak secara total telah ada dan telah dirumuskan. Dibukanya kembali pintu ijtihad, secara bahasa ia berarti upaya sungguh-sungguh untuk merealisasikan salah satu permasalahan. Berkembangnya tasyri’ pada masa modern. Banyak beberapa masail fiqhiyah yang belum pernah muncul pada masa-masa sebelumnya, pada masa modern ini berkembang. Suatu contoh persoalan perubahan kelamin, pencangkoan jantung.
4.    Keadaan tasyri di era moderen
Di era modern yang banyak mengalami perubahan perlu adanya suatu pembaharuan hukum Islam, dalam pembaharuan hukum Islam tidak boleh merubah hukum yang ada, artinya hanya boleh menetapkan hukum baru yang belum ada pada masa Rasul dan sahabat sedangkan hukum yang telah ada tidak boleh dirubah ataupun diperbaharui. Dalam hal ini hukum Islam lebih didekatkan dengan fiqih, bukan syariat.
5.    Tarikh tasyri’ di Indonesia
Hukum islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masunknya islam. tiga periode perkembangan pembaharuan hukum islam di Indonesia, yaitu : Periode Awal – 1945 : Pergeseran Dalam Hukum Yang Berlaku, Periode 1945 – 1985 : Pergeseran Bentuk Ke Hukum Tertulis, dan periode 1985-sekarang : menuju periode taqnin.


























DAFTAR ISI
Abdul Majid Khon, Ikhtisar Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembinaan Hukum Islam Dari Masa Ke Masa. Jakarta : Amzah, 2013
Ahmad Hanafi, Pengantar dan sejarah hukum islam. Jakatra : Bulan Binatang, 1970
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam. Jakarta : Rajawali Pers, 2009
Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam. Jakarta : Gramata Publishing, 2010



[1] Ahmad Hanafi, Pengantar dan sejarah hukum islam. (Jakatra : Bulan Binatang, 1970)

[2] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam. (Jakarta : Rajawali Pers, 2009)

[3] Yayan Sopyan, Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembentukan Hukum Islam. (Jakarta : Gramata Publishing, 2010)

[4] Abdul Majid Khon, Ikhtisar Tarikh Tasyri’ Sejarah Pembinaan Hukum Islam Dari Masa Ke Masa (Jakarta : Amzah, 2013) hal 177
 

Tintasetitik_dalam ilusi © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor