MAKALAH
“KESAKSIAN”
OLEH:
KELOMPOK
IX
ELLA MIANTI (170202010)
DOSEN PENGAMPU: Hj. ANI WAFIROH M. Ag,.
FIKIH
NISA’ JURUSAN AKHWAL
AS-SYAKHSIYYAH, FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
2018
KATA PENGANTAR
Pertama-tama kami panjatkan puja dan
puji syukur atas rahmat dan ridho Allah SWT.karena tanpa rahmat dan
ridho-Nya,kami tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai
tepat waktu. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Hj. ANI
WAFIROH M.Ag selaku dosen pengampu “Fikih Nisa’” yang membimbing kami dalam
pengerjaan tugas makalah ini. Kami jugmengucapkan kepada teman-teman kami yang
selalu setia membantu kami dalam hal mengumpulkan data-data dalam pembuatan
makalah ini.
Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang
“Kesaksian” Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum
kami ketahui. Maka dari itu kami mohon saran dan kritik dari teman-teman maupun
dosen demi tercapainya makalah yang sempurna.
Mataram, 19 Oktober 2018
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR.......................................................................................2
DAFTAR
ISI.....................................................................................................3
BAB
I PENDAHALUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................4
B. Rumusan Masalah..................................................................................4
C. Tujuan.....................................................................................................4
BAB
II PEMBAHASAN
A. Kesaksian................................................................................................5
B. Dasar Hukum kesaksian..........................................................................5
C. Syarat-syarat memberikan
kesaksian......................................................6
D. Waktu di terima kesaksiannya kaum
wanita............................................8
E. Kesaksian Kaum Perempuan....................................................................8
BAB
III PENUTUP
SIMPULAN..........................................................................................10
DAFTAR
ISI........................................................................................................11
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Diantara isu
yang sering menjadi
bahan perdebatan berkaitan dengan kedudukan perempuan
didalam Hukum Islam adalah permasalahan
kesaksiaan kaum perempuan. Pemahaman yang tersebar luas selama ini di kalangan masyarakat
muslim adalah bahwa
nilai kesaksian perempuan
separoh kesaksian laki –laki sebagaimana termuat dalam berbagai kitab
fikih maupun tafsir. Pemahaman yang seperti itu tampaknya
saat ini banyak
menuai kritik, karena seolah-olah menempatkan posisi
kaum perempuan lebih
rendah dari pada
kaum laki-laki. Akibatnya, banyak tudingan terhadap
Islam sebagai agama yang diskriminatif terhadap kaum perempuan. Pemahaman
demikian menarik untuk dibahas karena secara tidak langsung hal itu sama dengan
memposisikan laki -laki di atas perempuan atau dengan kata lain derajat perempuan
berada di bawah laki -laki. Dalam menanggapi hal ini kita perlu pahami dengan
baik dan juga dengan metode berfikir yang benar. Dalam diskursus pembaharu atau
kelompok muslim progresif, hal ini di butuhkan pembacaan ulang terhadap
konsepsi bahwa nilai kesaksian perempuan separoh kesaksian laki-laki. Dengan
demikian, dapat diketahui kemungkinan pembaharuan terhadap pemahaman tentanb
kesaksian perempuan dalam hukum islam.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa yang di maksud dengan
kesaksian?
2. Bagaimana Dasar Hukum memberikan Kesaksian.?
3. Apa saja syarat-syarat untuk
menjadi seorang saksi?
4. Kapan kesaksian wanita
diperbolehkan?
5. Bagaimana hukum kesaksian kaum wanita?
C. Tujuan
1. Mengetahui maksud dari kesaksian
2. Mengetahui dasar hukum dari
kesksian
3. Mengetahui syarat-syarat saksi
4. Mengetahui waktu diperbolehkannya
kesaksian wanita
5. Mengetahui Hukum kesaksian untuk
kaum wanita
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Kesaksian
Kata kesaksian
berasal dari kata “saksi” yang berarti orang yang memberikan
keterangan-keterangan di hadapan hakim umntuk kepentintingan terdakwa atau
pendakwa, atau orang melihat peristiwa serta orang yang di turutkan dalam suatu
perjanjian.[1]
Sedangkan kesaksian dalam al-qur’an di sebut Wastasyhadu dan syahidaini yang
berasal dari kata syahida. Kata syahida di dalam kamus bahasa arab berarti
menyaksikan,, persaksian, kesaksian, dan juga berarti menyaksiakan dengan mata
kepala. Pada kamus karangan Mahmus Yunus kata syahida berarti menjadi saksi
(disisi hakim). Jadi pengertian dari kesaksian adalah seseorang yang
menjelaskan dengan jujur tentang apa yang
telah di lihat atau di dengarnya.[2]
B. Hukum Kesaksian
Hukum pemberian
kesaksian ini adalah fardu ‘ain bagi orang yang mengembannya, jika ia di tuntut
untuk memberikan kesaksian dan menjadi wajib jika di khawatirkan akan hilangnya
kebenaran.
Allah Berfirman
dalam Al- Qur’an Surah Al- Baqarah :283
“Dan janganlah kalian (para saksi)
menyembunyikan kesaksian. Barang siapa menyembunyikannya, maka sesungguhnya dia
yang berdosa hatinya. (Q.S Al- Baqarah :283)”[3]
Dijelaskan
pula dalam surah Ath-Thalaq : 2
“Dan hendaklah kamu tegakkan
kesaksia itu karen Allah.” (Q.S Ath-Thalaq:2)
selain di jelaskan dalam Al-Qur’an
hukum kesaksian juga di jelaskan oleh Rasulullah dalam hadisnya yang di
riwayatkan Imam Muslim, Beliau Bersabda:
أَلَ أٌجْبِرُ كُمْ
بِجَيْرِ الشُّهَدَاءِالَّذِي يَأْتِي بِشَهَادَتِهِ قَبْلَ أَنْ يُسْأَلَهَا
(رواه مسلم)
“ Maukah kalian aku beritaukan
tentang sebaik-baik saksi ? yaitu orang yang datang menjadi saksi sebelum di
minta memerikan kesaksian. (HR. Muslim).[4]
Seorang
laki-laki tidak boleh memberikan kesaksian kecuali yang sesuai dengan apa yang
di ketahuinya, baik melalui penglihatan maupun pendengaran. Suatu kesaksian dapat diberikan pada saksi
lain jika dia berhalangan hadir, baik karena sakit atau meninggal dunia.
Dari
Khuzaim bin fatik Al-Azadi. ia menceritaka bahwa rasulullah pernah mengerjakan
sholat subuh, ketika berbalik beliau berdiri seraya bersabda:” Kesaksian palsu
itu sama seperti syirik kepada Allah.” sebanyak tiga kali. kemudian membacakan
ayat, “dan jauhilah ucapan-ucapan dusta” (HR, Abu Dawud, Ibnu Mjah dan
At-tirmuzi).
Imam At-Tirmizi mengatakan,
menurut ku inilah riwayat yang sahih. Khuzaim bin Fatik tidak sendirian, dan
telah di riwayatkan dair nabi beberapa hadist berkenaan dengan ini.
C. Syarat-syarat
menjadi seorang saksi
Dalam memberikan kesaksian
seseorang di syaratkan memenuhi empat kriteria, yaitu :
a. Islam[5]
Tidak di perboehkan kesaksian
orang kafir untuk orang muslim. Kecuali dalam hal wasiat di tengah perjalanan
maka di perbolehkan. ini menurut penapat imam abu hanifah, syuraih, dan ibrahim
an-Nakha’i. Asy-sya’bi ibnu abi layla mengatakan, “kesaksian orang yahudi untuk
yahudi lainnya di perbolehkan. Namun tidak boleh jika untuk orang Nasrani. Juga
tidak diperbilhakan kesaksian pengant suatua agama unutk penganut agama
lainnya. Ulama Hanafiyah juga
membolehkan kesaksian antar sesama orang kafir. Karena Nabi SAW pernah merajam
dua orang yahudi dengan kesaksian orang-orang yahudi untuk keduanya dalam kasus
perzinahan.(HR. Muslim)
b. Balig
Kesaksian seorang anak tidak dapat
di terima, Kecuali dalam kasus yang berkaitan dengan anak-anak juga. Misalnya
penganiayaan, Imam malik dan Abdullah bin Zubair membolehkan kesaksian anak
kecil dalam hal penganiayaan, selagi mereka tidak berselisih dan berpecah
balah. Inilah pendapat yang paling kuat sebab, orang-orang dewasa tidak hadir
bersama mereka dalam permainan meraka.[6]
c. Berakal
Kesaksian orang gila atau idiot
tidak dapat di terima. Akan tetapi kesaksian orang yang tidak gila seutuhnya
(terkadang sembuh dari gilanya) maka hal yang seperti ini dapat di terima
kesaksiannya (saat memberikan sesaksian di dalam keadaan sadar), Sebab
kesaksian orang yang berakal sehat sama kedudukannya deng orang yang tidak
dalam keadaan gila.[7]
d. Adil
Syarat adil ini wajib terpenuhi
dalam kesaksian, Artinya, kebaikan mereka mengalahkan keburukannya dan mereka
tidak biasa berdusta.
Hal ini didasarkan pada firman Allah swt:
وَاَشْهِدُ
وأذَوَى عَدْلٍ مِّنْكُمْ وَأقِيْمُوأألشَّهَدَةَ لِلّهِ .(2)
“Dan persaksikanlah denga dua orang saksi
yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena
Allah”. (Ath-Thalaq:2).
e.
Dapat berbicara
Seorang
saksi harus mampu berbicara, Kecuali jika dia menuliskan kesaksiannya dengan
tulisan. Ini menurut pendapat Imam Abu Hanifah, Ahmad, dan pendapat yang shahih
dari Mazhab Imam Syafi’i.
f.
Kuat ingatan dan
cermat
Tidak
dapat di terima kesaksin orang yng terkenal dengan ingatannya yang buruk, san
sering lupa maupun salah, kerana hilangnya kepercayaan terhadap perkataannya.
Hala ini juga berlaku bagi orang yang dungu dan semisalnya.
g.
Bebas dari tuduhan
Orang yang
tertuduh di sebabkan oleh kecintaan atau permusuhan tidak dapat di terima
kesaksiaannya. Demikian juga tidak di terima kesaksiam ashl, yaitu
seperti kesaksian anak untuk orang tuanya, juga kesaksian al-furu’ yaitu
seperti kesaksian orang tua kepada anaknya. Contoh yang lain misalnya seorang
pelayan yang di beri nafkah oleh tuan rumahnya, mak kesaksiannya tidak di
terima karena adanya tuduhan(kecurigaan).
Aisyah meriwayatkan
bahwa Nabi SAW bersabdah: “ Tidak di perbolehkan kesaksian penghiyanat
laki-laki maupun perempuan, juga orang yang memiliki kedengkian terhadap
saudara muslimnya. Tidak ada kesaksian dari seorang anak untuk orang tuanya dan
dari orang tua unutk ankanya.” (HR Tirmiziv dan selainnya)[8]
Tidak semua orang dapat menjadi
saksi, karena ada bebrapa orang yang tidak dapat di teriama kesaksiannya,
sebagaiman yang disabdahkan Rasulullah SAW.:
لَتَجُوْزُ شَهَادَةُ
خَا ءِنٍ وَلَ خَا ءِنَةٍ وَلَ ذِي غَمْرٍ عَلَى أَخِيْهِ وَلَ تَجُوْزُ
شَهَادَةُالْقَا نِعِ لِ أَهْلِ الْبَيْتِ. (روه ا أحمد و ابوداود و البيهقى).
“
Tidak di terima kesaksian penghiyanat, baik laki-lak dan perempuan, tidak juga
yang sakit hati kepada saudaranya, dan tidak juga di terima kesaksian qani’
untuk satu anggota keluarga.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan baihaqi. Dia
mengatakan sanad hadist ini kuat).[9]
D. Waktu
diterimanya kesaksian seorang wanita
Kesaksian
wanita dapat diterima jika sudah pernah menjalani masa haid. Hal ini sebagaiman
Firman Allah: “ Dan apabila anak-anak kalian telah mencapai usia balig, maka
hendaklah mereka meminta izin seperti orang-orang yang sebelum mereka meminta
izin.” (Q.S An-Nur:59). Dalam ayat tersebut diatas terdapat
pengertian yang mengeitka pemberlakuan hukum drngan pencapaian usia anak dimana
dia telah mengalami mimpi (yang menyebabkan keluarnya mani). Dan para ulama
juaga telah malkukan ijma’ bahwa mimpi yang menyebabkan keluar mani, pada kaum
laki-laki maupun kaum wanita mengaharuskan kepadanya menjlankan selruh ibadah
serta di berlakukannya hudud dan seluruh hukum. Yang di maksud mimpi disini
adalah keluarnya mani, baik melalui ijma’ ata yang lainnya, dalam keadaan tidur
maupun tidak. Selain itu mereka juga sepakat bahwa ijma’ dalam mimpi tidak
berpengaruh kecuali jika telahmengeluarkan mani.[10]
E. Kesaksian
kaum Wanita
Dasar
hukum kesaksian seorang wanita, Allah berfirman : “Jika tak ada dua oang
lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan”. (Q.S Al-
Baqarah:282).
Dari
Abu Sa’id al –khuduri Nabi saw bersabdah :
اَلَيْسَ شَهَادَةُ الْمَرْأةِ مِثْلَ نِصْفِ
شَهَادَةِ الرَّجُلِ قُلْنَا بَلَى قَالَ فَذَالِكَ مِنْ نُقْصَانِ عَقْلِه ) رواه البخارى(
“Bukankah kesaksian seorang wanita
itu setengah dari kesaksian seorang laki-laki?” Para sahabat Wanita menjawab “
Ya” yang demikian itu karena wanita kekurangan akalnya. (HR. Al-Bukhari).
Sebuah
kisah yang di ceritakan Imam syafi’i yang bersumber dari ibunya, dimana dia
(ibunya) bersama seorang wanita lain pernah memberikan kesaksian di hadapan
seorang hakim mekkah. kemudian hakim tersebut hendak memisahkan keduanya
sebagai bentuk ujian baginya, Lalu ibunya Imam syafi’i berkata, Anda tidak
berhak melakuka hal itu, Karena Allah ta’ala berfirman, “Supaya jika Seseorang
Lupa maka seorang lagi menginggatkannya.” (Al-Baqarah: 282).
Ibnu
mundzir mengatakan :“Para ulama telah sepakat berpendapat sama dengan berpegang
pada lahiriyah ayat di atas, dimana
mereka membolehkan kesaksian wanita bersama orang laki-laki. Dan jumhur ulama mengkhususkan kesaksian itu dalam hal hutang
dan harta benda. seperti yang dikatakan Ulama hanafiyah bahwa,” Kesaksian kaum
perempuan bersama kaum laki-laki di perbolehkan dalam urusan harta, pernikahan,
rujuk, talak, dan segala urusan selain hudud dan qishash.”[11]
Tetapi
meraka masih berbeda pendapat mengenai kesaksian dalam nikah, perceraian,
keturuanan, dan perwalian. Dalam hal ini jumhur ulama tidak membolehkannya,
tetapi para ulama Kufah membolehkannya. [12]
Selanjutnya
Ibnu Mundzir mengatakan, mereka sepakat menerima kesaksian dua orang wanita
saja atas perakara-perkara yang tidak dapat diketahui oleh orang laki-laki,
misalnya perkara haid, proses kalahiran, dan aib-aib wanita. Tetapi meraka
masih berbeda pendapat mengenai hal penyusuan.
Abu
Ubaid mengatakan, kesepakatan meraka membolehkan kesaksian dua orang wanita
dalam hal harta benda adalah berdasarkan pada ayat di atas, Sedangkan penolakan
mereka terhadap kesaksian dua orang wanita dalam hal hudud dan qishash didasarkan pada ayat berikut ini, “Itulah
hudud (hukum-hukum) Allah.” (Q.S Al- Baqarah : 187). Kaum wanita
tidak di terima kesaksianya dalam hal ini karena meraka tidak berhak mengambil
keputusan atau memberikan jalan keluar.
BAB III
PENUTUP
SIMPULAN
1. Kesaksian itu merupakan seseorang yang menjelaskan dengan jujur tentang apa yang telah di lihat atau di
dengarnya.
2. Hukum pemberian kesaksian ini adalah fardu
‘ain bagi orang yang mengembannya, jika ia di tuntut untuk memberikan kesaksian
dan menjadi wajib jika di khawatirkan akan hilangnya kebenaran. Allah Berfirman
dalam Al- Qur’an Surah Al- Baqarah :283. “Dan janganlah
kalian (para saksi) menyembunyikan kesaksian. Barang siapa menyembunyikannya,
maka sesungguhnya dia yang berdosa hatinya. (Q.S Al- Baqarah :283)”. Dijelaskan
pula dalam surah Ath-Thalaq : 2“Dan hendaklah kamu tegakkan kesaksia itu karen
Allah.” (Q.S Ath-Thalaq:2)
3. Syarat-syarat yang harus ada pada seorang
saksi : Islam, berakal, balig, adil, dapat berbicara, kuat inggatan dan cemat,
dan bebas dari tuduhan.
4. kesaksian seorang perempuan Pada dasarnya ulama fikih mengakui kedudukan perempuan
untuk dapat menjadi saksi Dalam perkara-perkara tertentu kesaksian perempuan
dapat diterima dalam hal yang terkait dengan harta serta yang berkaitan dengan
masalah yang tidak bisa diketahui
kecuali kaum perempuan itu sendiri. kecuali kasus pernikahan, kisas, hudud, dan
had zina kesaksian perempuan tidak dapat diterima. Akan Tetapi, Memperbandingkan
kondisi perempuan sekarang di mana banyak perempuan menjadi pemimpin publik, bahkan
menjadi presiden, menjadi komisaris utama sebuah perusahaan besar, akuntan
terkemuka, penghafal Alquran, dan lain-lain sebagai jawaban dari tuduhan ulama
zaman dahulu bahwa perempuan daya ingatnya lemah, pelupa, tidak bisa memimpin,
akal dan agamanya kurang, maka tentu saja pandangan bahwa kesaksian perempuan
separuh dari laki -laki harus dikaji lebih lanjut..Kenyataan sekarang perempuan
telah setara dengan laki-laki hampir dalam segala bidang, karena perempuan juga
telah memiliki akses yang hampir sama dengan laki-laki. Mengikuti perkembangan
ini, maka perempuan sepatutnya disetarakan dengan laki-laki di hadapan hukum,
termasuk dalam posisinya sebagai saksi dalam semua urusan, baik muamalat,
munakahat, maupun jinayat khusus dibidang hudud dan qisas.
DAFTAR PUSTAKA
Alex MA. kamus
ilmiyah populer kontemporer. Surabaya : karya harapan, 2005
Sulaiman Al-Faifi. Ringkasan Fikih sunah(sayyid
sabiq). Jakarta Timur : Beirut Publishing, 2014
Syaik, H, Abdul Halim Hasan. Tafsir Al-Ahkam. Jakarta : Kencana,
2006
Syaikh kamil
muhammad uwaidah. fiqh wanita. Jakarta timur : pustaka al kausar, 2006
Syaikh Mutawali As-Sya’rawi, Fiqih perempuan
(muslimah) busana dan Perhiasan, Penghormatan atas Perempuan sampai wanita
karier. Jakarta : Amazah, 2009
Zamzami. Kesaksian permpuan dalam Al-Qur’an.
Riau : UIN Sultan Syarif Karim, 2011
[4] Sulaiman Al-Faifi. Ringkasan Fikih
sunah(sayyid sabiq). (Jakarta Timur : Beirut Publishing,2014). hal 893
[5] ibid Sulaiman Al-Faifi. Ringkasan Fikih sunah(sayyid sabiq). (Jakarta
Timur : Beirut Publishing,2014) hal 894
[8] ibid Sulaiman Al-Faifi. Ringkasan Fikih sunah(sayyid sabiq). (Jakarta
Timur : Beirut Publishing,2014) hal 896
[9] ibid syaikh kamil muhammad uwaidah. fiqh wanita. (Jakarta timur : pustaka
al kausar, 2006). hal 636
[11] ibid Sulaiman Al-Faifi. Ringkasan
Fikih sunah(sayyid sabiq). (Jakarta Timur : Beirut Publishing,2014). hal
899