Kamis, 19 April 2018

SEJARAH PERADILAN ISLAM

di April 19, 2018

MAKALAH
LATAR BELAKANG MUNCULNYA TERM PERADILAN DALAM ISLAM


OLEH:
AINUN JARIAH (170202007)
ELLA MIANTI (170202010)
DOSEN PENGAMPU: NUNUNG SUSFITA, M.S.I

PENGANTAR PERADILAN ISLAM JURUSAN AKHWAL AS-SYAKHSIYYAH, FAKULTAS SYARI’AH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM 2018


KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puja dan puji syukur atas rahmat dan ridho Allah SWT.karena tanpa rahmat dan ridho-Nya,kami tidak dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan selesai tepat waktu. Tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Nunung Susfita, M.S.I., selaku dosen pengampu “Pengantar peradilan islam” yang membimbing kami dalam pengerjaan tugas makalah ini. Kami juga mengucapkan kepada teman-teman kami yang selalu setia membantu kami dalam hal mengumpulkan data-data dalam pembuatan makalah ini.
            Dalam makalah ini kami menjelaskan tentang “Latar Belakang Munculnya Term Peradilan dalam Islam” Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum kami ketahui. Maka dari itu kami mohon saran dan kritik dari teman-teman maupun dosen demi tercapainya makalah yang sempurna.


Mataram, 12 Maret 2018

Penyusun
        








DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................3
BAB I: PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang...............................................................................4
B.     Rumusan Masalah..........................................................................4
C.     Tujuan.............................................................................................4
D.    Kerangka teori.................................................................................5
BAB II: PEMBAHASAN
A.    Peradilan pra islam...........................................................................6
B.     Peradilan pra Rasulullah..................................................................8
C.     Peradilan masa Rasulullah..............................................................11
D.    Peradilan masa khulafaur................................................................14
E.     Peradilan masa Bani Umayyah.......................................................17
F.      Peradilan masa Bani Abbas............................................................19
G.    Tujuan peradilan dalam islam.........................................................20
BAB III: ANALISIS PEMAKALAH...............................................................22
BAB IV: PENUTUP
                SIMPULAN......................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................28






BAB I
PENDAHULUAN
     A.    Latar Belakang
Keberadaan lembaga peradilan sudah dikenal sejak zaman sebelum Islam datang, kehadiran Islam tentunya memberikan warna tersendiri terhadap keberadaan peradilan itu sendiri, ini disebabkan karena Islam mempunyai pedoman tersendiri dalam menyelenggarakan peradilannya, akan tetapi bukannya Islam tidak menghiraukan situasi dan kondisi yang dialami masyarakat yang dihadapi saat itu, sehingga peradilan yang diselenggarakan oleh pemerintahan Islam juga tidak dianggap kaku. Ini terlihat dari perkembangan peradilan Islam yang dilalui dari masa ke masa, mulai dari peradilan masa pra islam , pra Rasulullah saw, masa Rasulullah, masa sahabat, Bani Umayyah, hingga Bani Abbas
Untuk menegetahui bagaimana latar belakang dari munculnya term pradilan marilah kita menyimak  penjelasan dalam makalah ini
    B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimanakah sejarah peradilan pada masa pra islam?
2.      Bagaimanakah sejarah peradilan pada masa pra Rasulullah?
3.      Bagaimanakah sejarah peradilan islam pada masa Nabi SAW?
4.      Bagaimanakah peradilan pada masa khulafaurrasyidin?
5.      Bagaimanakah peradilan pada masa Bani Umayyah?
6.      Bagaimanakah peradilan pada masa Bani Abbas?
7.      Apakah tujuan dari peradilan dalam  islam?
    C.    Tujuan
1.      Mengetahui  sejarah peradilan pada masa pra islam
2.      Mengetahui sejarah peradilan pada masa pra Rasulullah
3.      Mengetahui  sejarah peradilan islam pada masa Nabi SAW
4.      Mengetahui peradilan pada masa khulafaurrasyidin
5.      Mengetahui peradilan pada masa Bani Umayyah
6.      Mengetahui peradilan pada masa Bani Abbas
7.      Memahami tujuan dari peradilan dalam Islam
    
     D.    Kerangka Teori
وَأَنِ اَحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ

            Artinya: “Dan putuskanlah hukum diantara mereka dengan apa yang telah di turunkan oleh Allah.” (Q.S. Al-Ma’idah (5): 49)      
            وَتَّبِعْ مَايُوْحَى الَيْكَ وَاصْبِرْحَتَّى يَحْكُمَ اللهُ وَهُوَ خَيْرُ  الحَكِمِيْنَ
Arrtinya: “Dan ikutilah apa yang di wahyukan kepadamu, dan bersabarlah hingga Allah memberi keputusan. Dialah hakim yang terbaik.” (Q.S. Yunus (10):109)

فَلا وَرَبِّكَ لا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا
قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
Artinya: “Maka dari Tuhanmu, mereka itu (hakekatnya) tidak beriman, sehingga mereka mau menjadikan kamu sebagai hakim terhadap perjara yang mereka perselisihkan kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya” (Q.S. An-Nisa ayat 65)
“Dari Jabir katanya : Saya dengar Rasulullah saw bersabda : Tidak (dinilai) bersih suatu masyarakat dimana hak orang yang lemah diambil oleh yang kuat (H.R. Ibnu Hiban)


BAB II
PEMBAHASAN
     A.    Sejarah peradilan pra islam
1.      Zaman nabi Adam AS
Pada masa Nabi Adam As, baik saat di surga atau seteliau beliau dan Siti Hawa turun ke bumi proses peradilannya lansung serta merta dari Allah SWT. hal ini dapat diketahui dari peristiwa pemakanan buah huldi yang kemudian berakibat pula bagi syaitan dengan imbalan kekekalan di neraka.
Pada masa nabi Adam a.s. pernah terjadi pertikain antara kedua anaknya yang bernama Qabil dan Habil, dimana  Nabi Adam yang menjadi hakim dalam penyelesaiannya. Hanya saja bentuk peradilan pada masa tersebut belum dapat dikatakan peradilan seperti yang di kenal sekarang, karena pada saat itu belum dikenal yang mananya hakim dan tugas-tugasnya serta perundang-undangannya.[1]
2.    Zaman Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman as.[2]
Hakim pertama sekali yang disebut dalam sejarah kemanusiaan adalah Nabi Daud as dan Nabi Sulaiman as. Pada masa mereka dijelaskan bahwa seorang hakim harus mendengarkan pendapat dari kedua belah pihak sebelum memutuskan perkara dan harus memisahkan para saksi untuk mendengarkan pendapat mereka. Kedua nabi tersebut masing-maing diuji oleh Allah SWT. Sebagai bukti bahwa tidak sembarang orang yang menjadi hakim.
Sebelum memilih Nabi Daud as. Menjadi hakim. Allah menguji mereka dengan menurunkan dua malaikat yang menyeruapai manusia. Keduanya datang saling berselisih dan meminta keadilan kepada Nabi Daud as. Salah satunya berkata, saudara saya ini memiliki 99 ekor kambing betina  dan saya memiliki seekor saja. Tapi ketamakkannnya menjadikan ia terkalahkan oleh hawa nafsunya. Lalu ia meminta satu-satunya kambing yang saya miliki. Tapi saya menolak permintaannya, dan saya jelaskan penolakkan penyerahan kambing yang saya miliki. Saya jelaskan kepadanya perbedaan antara, kekayaan ia dan kemiskinan yang menimpa saya. Namun, rekayasanya lebih besar sehingga ia mengalahkan saya dengan kehebatan debatnya sehingga menjadikan saya harus menerima alasannya. Sungguh ia orang yang paling lancar bicaranya, paling kuat debatnya dan paling kaya penjelasannya. Nabi Daud as. melihat bahwa alasan yang dimiliki orang kedua akan berdampak pada kezaliman, maka Nabi Daud as. segera menetapkan putusan dengan mengatakan "Sesungguhnya ia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu untuk ditambahkan kepada kambingnya. Dan sesungguhnya kebanyakan orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat zalim kepada yang lainnya, kecuali orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan amat sedikitlah mereka ini"
Kemudian orang kedua memandang Nabi Daud as dan mengatakan bahwa ini keputusan yang zalim, engkau tidak adil bagaimana engkau memutuskan persengketaan dengan hanya mendengar satu pihak saja. Nabi Dawudpun mengetahui bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala sedang mengujinya, maka dia meminta ampun kepada-Nya seraya bersungkur sujud dan bertaubat Kemudian dia merenung, merasa takut, dan jiwanya gelisah, sehingga dia mengetahui kelengahan yang diperbuatnya.
Semua itu dikarenakan pandangan kedua orang tersebut mengapa dia tergesa-gesa dalam memberikan keputusan? Dan dia meyakini ia telah melakukan tindakan yang tidak tepat, dan menetapkan suatu hukum tanpa kecermatan, tapi hanya berpedoman kepada apa yang tampak pertama kali Lalu, ia bertanya sebenarnya siapa kedua orang tadi? Kemudian Nabi Dawud mengetahui bahwa kedua orang tersebut adalah malaikat yang diutus Allah SWT untuk menguji Nabi Dawud a.s. kemudian ia bertaubat dan Allah SWT mengampuninya. Lalu turunlah wahyu yang berbunyi: "Hai Daud. as., sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah di muka bumi, maka. berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dan jalan Allah Swt.". Itulah peristiwanya yang kemudian dijelaskan Allah Swt. Dalam surat Shad (38): 17-26.
Adapun Nabi Sulaiman a.s. yang hidup dalam didikan ayahnya yaitu Nabi Daud dan memiliki kecerdasan dan pemahaman yang baik yang dianugerahkan Allah SWT sejak kecil. Nabi Sulaiman dalam menyelesaikan masalah (perkara tanaman)
Awalnya perkara ini disampaikan kepada Nabi Daud as. tentang dua orang yang bersengketa. Orang pertama berkata: "Wahai Nabi sesungguhnya. saya memiliki tanaman yang sedang berbuah dan telah dekat masa petiknya. Namun kambing-kambing orang ini memakan dan merusak tanaman saya tanpa dicegahnya. Maka saya minta keadilan". Orang kedua berkata: "Ya benar saya tak memiliki sanggahan". Nabi Daud as. memutuskan agar pemilik tanaman mengambil kambing sebagai ganti kerugian yang dideritanya, dan balasan kecerobohan pemilik kambing.
Namun Sulaiman berkata dan memberl sanggahan atas ayahnya dan ia memutuskan engkau serahkan kambing kepada pemilik ladang, sehingga ia dan keluarganya dapat memanfaatkan susu kambing, bulu, dan anaknya selama beberapa tahun. Sedangkan pemilik kambing mengurus ladang dan mengembalikan tanamannya jadi baru. Hingga ketika tanaman kembali seperti semula, kambing itu pun dikembalikan kepada pemiliknya. Dengan demikian, tidak adayang dirugikan dan tidak adayang diuntungkan. Kisahnya diterangkan dalam Al-Qur'an surat Al-Anbiya1 (21) ayat 78-79.
    B.     Sejarah peradilan pra Rasulullah SAW.
1.      Peradilan bangsa Romawi, Persi, dan Mesir Kuno[3]
Di atas telah dikatakan  bahwa sejarah peradilan telah ada sejak adanya manusia. Begitu juga pada bangsa-bangsa yang telah berkembang dimasa yang lalu, seperti peradilan bagi bangsa Romawi, Persi dan bangsa Mesir kuno. Bangsa ini telah memiliki lembaga peradilan yang terorganisir dengan memiliki undang-undang atau peraturan-peraturan yang dilaksanakan oleh para qadhi. Bagi bangsa Israel dan bangsa Arab sebelum Islam berpendapat, bahwa alat-alat bukti  dalam peradilan adalah saksi, sumpah atau keadaan tertangkap basah. Bangsa Barat juga menjelaskan bahwa peradilan di Barat telah mempunyai tekhnik mengambil keputusan dan alat-alat pembuktian. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya peradilan pada masa ini telah ada walaupun masih sederhana.
Hal yang menjadi perhatian bagi bangsa-bangsa pada masa itu dalam peradilan adalah tentang qadhi. Bagi mereka seorang qadhi harus mempunyai kemampuan dan baik akhlaknya. Maka tidak akan diangkat seseorang menjadi qadhi apabila ia tidak mempunyai kemampuan di bidang ini. Selain itu diperhatikan pula tentang kecerdasannya, kecerdikannya, keluasan ilmunya, ketenangan hatinya, kebersihan jiwanya dan keluhuran budinya.
Selain itu seorang qadhi harus diliputi situasi yang dapat menjamin kebebasan dirinya dalam melaksanakan tugasnya yang suci. Semakin tinggi kemajuan bangsa, maka semakin besar pula jaminan-jaminan tersebut dapat diperoleh oleh para qadhi. Maka sangat jelas bahwa sejak dulu qadhi memiliki peran yang sangat penting dalam memutuskan suatu perkara.

2.      Peradilan Bangsa Arab pada Masa Jahiliyah[4]
Bagi masyarakat Arab pada zaman  Jahiliyah pra Islam dapat dikatakan belum memiliki bentuk maupun system peradilan yang mapan. Mereka juga  tidak mempunyai sulthah tasyri'iyah (badan legislatif) yang menyusun dan membuat undang-undang atau hukum tertentu semacamnya yang dapat dijadikan referensi dalam menyelesaikan berbagai persoalan dan persengketaan yang sering terjadi di antara mereka.  Karena pada saat itu di jazirah Arab sama sekali tidak terdapat satu kesatuan sosiologis (bangsa) maupun kesatuan politik  (negara) secara nyata. Namun mereka telah memiliki gadhi untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka.
Mereka pada umumnya berpegang pada tradisi (kebiasaan) dan adat istiadat yang berlaku di masing-masing kabilah (suku) untuk menjadi pedoman utama dalam menyelesaikan berbagai persoalan. Kepala-kepala kabilah memutuskan hukum antara anggota kabilah. Adat-adat kebiasaan itu diambil dari pengalaman atau dari kepercayaan atau dari bangsa-bangsa yang berdiam  di sekitar mereka, seperti bangsa Romawi, Persia, atau dari orang-orang yang berdiam bersama-sama di daerah tersebut yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani.
Hukum balas dendam (al-akhdzu bi al-tsa'ri) yang biasa dilakukan oleh suku-suku Arab pra Islam dan menjadi jalan keluar dari kasus-kasus pidana, terutama terkait dengan pidana kematian jiwa, pada kenyataannya justru sering kali menyebabkan semakin runcingnya sebuah persoalan dan berkepanjangannya suatu kasus. Hal ini diperkuat dengan adanya realita bahwa pada masa itu masing-masing suku memiliki kecenderungan fanatisme dan solidaritas internal yang sangat kuat terhadap anggota-anggota suku, terutama jika datang dari kalangan bangsawan mereka. 
Dalam peradilan Jahiliyah istilah yang mereka pakai dalam menyebut qadha adalah  hukumah,  sedangkan qadhi mereka sebut hakam. Setiap kabilah  memiliki   hakam sendiri dan  hukuman  (badan  peradilan)  bagi mereka tidak ada yang berdiri sendiri kecuali bagi suku Quraisy.
Dalam menyelenggarakan peradilan tempat-tempat yang dipakai untuk memutuskan perkara, sidang-sidangnya dapat dilakukan dimana saja. Seperti  dilakukan di bawah pepohonan atau kemah-kemah yang didirikan. Peradilan juga pernah dilakukan di pasar kota tempat pengadilan bagi hakim pasar. Amir ibn Zharib duduk untuk memutuskan hokum di depan rumahnya.  Sampai akhirnya mereka membangun rumah-rumah atau bangunan-bangunan yang khusus untuk pengadilan.
Di antara bangunan-bangunan  pengadilan yang termasyhur ialah Darun Nadwah yang berda di Mekah, dan bangunan itulah yang pertama kali didirikan di sana. Bangunan ini dibangun oleh Qushay bin Ka'ab dan pintunya dihadapkan mengarah ke Ka'bah. Pada permulaan Islam bangunan itu menjadi tempat tinggalnya para Khalifah dan amir-amir di waktu musim haji. Pada pertengahan abad ke III Hijriyah setelah bangunan itu roboh dan goyang, maka Khalifah Mu'tadlid al-Abbasy (281 H) memerintahkan agar bangunan tersebut dihancurkan sama sekali dan memasukkannya ke dalam batas Al-Masjidil Haram

     C.     Sejarah peradilan islam pada masa Nabi SAW
1.      Rasulullah sebagai pemegang Otoritas Jurisdiksi
Berbicara mengenai peradilan islam, tentu tidak terlepas dari masa Rasulullah SAW. Setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, mulailah beliau menyampaikan risalah dakwah kepada penduduk Makkah, terutama masalah aqidah selama 13 tahun. Kondisi umat islam masih lemah, baik dari segi kuantitas maupun kekuatan. Berbagai tekanan dan penindasan terjadi, sehingga belum memungkinkan untuk melaksanakan berbagai ketentuan agama terutama masalah peradilan, kemudian Allah SWT memerintahkan Rasulullah SAW hijrah ke Madinah untuk melanjutkan risalah dakwahnya.
Berbeda dengan di Makkah, kondisi Madinah relatif stabil dan jumlah umat islam semakin banyak, sementara Rasulullah SAW dijadikan sebagai pemimpin oleh masyrakat Madinah baik umat islam maupun non-islam, sehingga sangat memungkinkan untuk melaksanakan berbagai ketentuan agama dan tuntunan syariah. Permasalahan semakin bertambah di masyarakat terutama masalah muamalah, dan setiap permasalahn yang terjadi senantiasa di hadapkan kepada Rasulullah SAW., dan beliau menyelesaikan permasalahan berdasar apa yang telah di wahyukan oleh Allah SWT kepadanya.[5] Maka dari itu keadilan dipandang sebagai satu elemen yang sangat mendasar dan senantiasa ditegaskan oleh Allah dalam firman Allah SWT yang artinya:
"Dan hendaklah kamu memutus perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkn kamu dari sebagian apa yang telah diturunkn Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yng telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagaimana dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik."[6]
Tidak ada seorang pun umat Islam selain Rasulullah sendiri yang men-tasyri'-kan hukum pada suatu kejadian, baik untuk dirinya maupun orang lain. Segala sesuatu yang berkaitan dengan hukum islam langsung ditanyakan dan diberi kata putus oleh rasulullah, tidak ada masyarakt yang berani melakukan ijtihd sendiri. Rasulullah memberi fatwa, menyelesaikn persengketan, menjawab pertanyaan-pertanyaan kadang dengan legitimasi satu atau beberapa ayat dari Al-Quran yang diwahyukan oleh Allah, dan kadang-kadang dengan ijtihad Rasulullah yang bersandar kepad ilham dari Allah, atau berdasar pada petunjuk akal bahats-nya serta penetapan penetapan terhadap masalah yang dimaksud. Hukum-hukum yang bersumber dari Rasulullah menjadi undang-undang bagi umat islam yang wajib diikuti. Baik hal tersebut bersumber dari wahyu Allah maupun hasil ijtihad Rsulullah sendiri.
Kehidupan manusia pada setiap masanya selalu membutuhkan peradilan, sebab kalau tidak, maka kehidupan mereka akan menjadi liar. Dengan adanya undang-undang bagi kehidupan masyarakat belumlah cukup untuk menyelamatkan kehidupan sosial dan menertibkannya, karena manusia terkadang berselisih mengenai undang-undang tersebut, bahkan ada yang secara terang-terangan menentang rumusan undang-undang itu atau memungkirinya. Maka peradilanlah yang akan berperan menentukan makna undang-undang dengan secara sempurna.[7]
Fungsi peradilan sebagai lembaga negara yang ditugasi untuk menyelasaikan dan memutuskan setiap perkara dengan adil, maka peradilan berfungsi untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman masyarakat yang dibina melalui tegaknya hukum. Pada zaman Nabi SAW proses peradilan berlangsung dengan sangat sederhana.
Jika ada seseorang yang menemui satu permasalahan maka ia dapat bersegera datang kepada Nabi untuk meminta putusan tanpa harus menunggu waktu tertentu maupun mencari tempat tertentu pula. Bahkan kebanyakan dari putusan-putusan (qadlā’) yang dilakukan oleh Nabi lebih bersifat sebagai “fatwa”. dengan model tanya-jawab, dibandingkan dengan proses sebuah “pengadilan” dalam bahasa yang sering dipahami di masa sekarang.
Dihadapan Nabi SAW., kedua belah pihak bebas mengemukakan isi hatinya sehingga masing-masing dapat mendengarkan pembicaraan pihak lawannya. Alat-alat bukti bagi Nabi adalah pengakuan, saksi, dan sumpah[8]
Namun meskipun proses peradilan ini berlangsung sangat sederhana, Rasulullah menyaratkan bahwa ketika terjadi persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran sebuah keputusan tidak boleh diambil kecuali setelah sang pengambil keuputusan (qādli) mendengarkan pelaporan dari kedua belah pihak.
2.      Para Hakim di Zaman Rasulullah saw.[9]
Di kota Madinah Rasulullah SAW., menjadi hakim satu-satunya. Namun ketika wilayah kekuasaan islam meluas, maka Nabi mulai menugaskan para sahabat untuk menjadi gubernur disebagian daerah dan sekaligus sebagai hakim. Mengingat jauhnya tempat yang memerlukan putusan perkara dari kota Madinah. Diantara yang di tugaasi beliau adalah Mu’az bin Jabal dan Ali bin Abi Thalib menjadi gubernur sekaligus menjadi Hakim di Yaman, ‘Attab bin Asid ditugaskan ke Mekkah, Ibn Hajar Al-Asqalani menerangkan, bahwa banyak hadis yang memberi pengertian bahwa tiap-tiap daerah memp[unyai hakim sendiri. Namun Rasulullah SAW sangat teliti dalam memilih atau mengangkat sahabat dalam dalam mengemban tugas sebagai Hakim. Terbukti ketika Mu’az bin Jabal ingin diutus ke Yaman Rasulullah melakukan tes kelayakkannya.
Namun dalam kasus Ali bin Abi Thalib belai mengangkatnya tanpa menguji terlebih dahulu. Ini di karenakan beliau sangat mengetahui kapabilitasnya.
Hal-hal yanng tidak dapat diputuskan oleh hakim-hakimdaerah, disampaikan kepada Rasulullah saw maka Rasul membenarkan purusan-putusan hakim daerah tersebut itu atau membatalkannya.
Pada zaman Rasulullah, telah dikenal adanya peninjauan kembali suatu putusan hukum yang telah dijatuhkan .
   D.    Peradilan pada masa sahabat (Khulafaurasyidin)
1.      Masa khalifah Abu Baqar As-Shidiq[10]
Sepeninggal Rasulullah SAW pucuk pimpinan pemerintahan Islam digantikan oleh Abu Bakar, ditangan Abu Bakar ini kondisi peradilan Islam tidak banyak mengalami  perubahan, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain karena kesibukannya memerangi sebagian kaum muslimin yang murtad sepeninggal Rasul SAW, peperangan melawan Nabi palsu Musailah Al Kadzab, menundukkan kaum pembangkang yang tidak mau menunaikan zakat, serta urusan politik dan pemerintahan yang lainnya, di samping belum meluasnya kekuasaan Islam pada masa itu. 
Dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskan, Abu Bakar selalu melihat isi Al Qur’an, jika ia menemukan hukum Allah di dalam Al Qur’an atas persoalan yang dihadapi maka ia memutuskan perkara dengannya. Akan tetapi jika tidak ditemukan maka ia mengambil keputusan berdasarkan sunah-sunah Rasul. Jika ia belum menemukan keputusan berdasarkan Al Qur’an dan sunah Rasul, maka Abu Bakar berinisiatif mengumpulkan para sahabat untuk diminta keterangan terhadap perkara yang dihadapi, barangkali ada di antara para sahabat yang mengetahui hukum  Rasul terhadap perkara yang di hadapi. Dan manakala tidak bisa diambil keputusan dengan tiga jalan tersebut, maka ia bermusyawarah dengan para
sahabat untuk menentukan putusan yang hendak diambil, jika semua yang hadir sependapat untuk menetapkan suatu  hukum, maka Abu Bakar berpegang pada keputusan itu. Inilah yang kemudian dijadikan dasar untuk ijma’. 
Salah satu riwayat menyebutkan bahwa pada masa Abu Bakar ini, urusan Qodo’ diserahkan kepada Umar Bin Khotob selama dua tahun lamanya, tetapi tidak seorang pun yang datang untuk menyelesaikan suatu perkara, karena para sahabat yang berperkara mengatahui bahwa Umar adalah seorang yang sangat tegas. Dan juga karena faktor pribadi pribadi kaum muslimin pada masa itu yang dikenal sangat saleh dan toleran terhadap sesama muslim, sehingga faktor inilah yang sangat membantu tidak terwujudnya selisih sengketa di antara mereka.
2.      Masa khalifah Umar bin Khatab[11]
 Di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, terjadi perkembangan baru di bidang peradilan. Khalifah Umar memisahkan antara kekuasaan peradilan (yudikatif) dengan kekuasaan pemerintahan (eksekutif), hal ini dipengaruhi oleh semakin meluasnya wilayah kekuasaan Islam, semakin banyaknya beban-beban yang menyangkut bidang peradilan, tugas-tugas yang dihadapi oleh pemerintahan dalam bidang politik, sosial dan ekonomi, keharusan peningkatan perhatian dalam urusan pemerintahan di
daerah-daerah, serta telah berbagai corak ragamnya dan pergaulan orangorang Arab degan orang-orang lain pun sudah sangat erat. Maka khalifah Umar Bin Khatab mengangkat Abu Darda’ sebagai qod}i’ di Madinah, dan Syuraih Bin Qais Bin Abil Ash di Mesir, Abu Musa Al Asy’ari di Kuffah, sedang untuk daerah Syam diberi pula hakim sendiri. Menurut kitab Tarikhul Islam, Abu Musa menjadi hakim di masa Umar hanya untuk Bashrah saja, sedang pengadilan di Kufah diserahkan kepada Syuraih. Di masa Usman barulah Abu Musa menjadi hakim di Kufah. Oleh karena tugas peradilan sebagian dari kewenangan umum itu, maka kepala negaralah yang memegang wewenang ini dan dialah yang mengangkat para hakim untuk perkara-perkara khusus. Karena itulah diwaktu Umar mengangkat beberapa orang menjadi hakim, beliau membatasi wewenang mereka dalam perkara-perkara perdata saja, perkara perkara pidana dipegang sendiri oleh khalifah, atau oleh penguasa daerah. Para khalifah senantiasa mengawasi perbuatan para penguasa daerah dan hakimnya. Serta terus-menerus memberikan petunjuk-petunjuk dan bimbingan-bimbingan.
3.      masa khalifah Utman bin Affan dan Ali bin Abhi Thalib[12]
Ustman adalah khalifah yang mula-mula membangun gedung pengadilan, yang di masa Abu Bakar dan Umar masjidlah yang dijadikan sebagai tempat pengadilan. Demikian juga, di masa khlifah-khalifah ini telah ditertibkan gaji bagi pejabat-pejabat peradilan dengan diambilkan dari kas baitul maal yang mula-mula dirintis di masa khalifah Abu Bakar ra. Demikian pula khalifah Ali Bin Abi Thalib mengangkat Abu Nakhai sebagai gubernur di Ustur dan Mesir dengan peran perannya, agar ia bertaqwa kepada Allah dan agar hatinya diliputi rasa kasih sayang dan kecintaan kepada rakyat, dan agar bermusyawarah dan memilih penasihat-penasihat, serta dijelaskannya tentang siasat pemerintahan.

Di dalam masa Khulafa’ Rasyidin, belum diadakan panitera dan buku register untuk mencatat putusan-putusan yang telah dilakukan, hal ini disebabkan karena qhodi’lah yang melaksanakan sendiri segala keputusan yang dikeluarkannya. Pada masa itu, hakim di samping bertindak sebagai pemutus perkara, juga bertindak sebagai pelaksana hukum agar dijalani. Kebanyakan hakim pada masa itu duduk di rumahnya sendiri menerima dan memutuskan perkara, karena pada masa itu qhodi’ belum memiliki tempat
khusus (gedung pengadilan). Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, masjidlah yang dijadikan tempat untuk menyelesaikan segala sengketa, karena masjid-masjid pada masa itu tidak hanya khusus untuk tempat bersembahyang, yang memang demikian sebenarnya fungsi masjid. Ia merupakan pusat bagi memecahkan segala urusan sosial seperti peradilan, bahkan merupakan kantor pusat pemeritahan, dan juga sebagai tempat perguruan tinggi.

    E.     Peradilan pada masa Bani Umayyah[13]
         Perkembangan peradilan pada masa bani Umayah menunjukkan perubahan, di mana khalifah mempunyai peranan besar karena ia mengangkat para hakim di ibukota pemerintahan, sedang untuk hakim di daerah diangkat oleh gubernur. Akan tetapi masing-asing hakim itu tidak mempunyai hak untuk mengawasi putusan-putusan hakim yang lain. Hakim ibu negara sendiri tidak bisa membatalkan putusan hakim daerah. Kekuasaan pembatalan putusan hakim itu hanya dipegang oleh khalifah sendiri atau wakilnya.
         Tugas para hakim di masa itu hanyalah mengeluarkan vonis dalam perkara-perkara yang diserahkan kepadanya. Tentang pelaksanaan hukuman, maka kadang-kadang diawasi sendiri oleh hakim atau diawasi oleh orangorang yang ditunjuk oleh hakim. Peradilan di masa bani Umayah mempunyai dua ciri khas yaitu:
a.       Hakim memutuskan perkara berdasarkan hasil ijtihadnya sendiri, hakim pada umumnya adalah seorang mujtahid. Sehingga tidak ada qodi’ yang memegangi suatu pendapat tertentu, tetapi ia memutus perkara yang tidak ada ketentuan nashnya dari Al Qur’an atau sunah Nabi SAW. Atau ijma’ dengan pendapat dan ijtihadnya sendiri, dan apabila ia menemukan kesulitan dalam menetukan hukumnya, maka ia meminta bantuan ahliahli fiqh yang berada di kota itu. Dan banyak di antara mereka berkonsultasi dengan pemerintah atau penguasa dalam mencari suatu ketentuan pendapat.
b.      Lembaga peradilan pada masa itu tidak dipengaruhi oleh penguasa. Hakim-hakim pada masa itu mempunyi hak otonom yang sempurna. Oleh karena itu qodi’-qodi’ pada masa itu keputusan-keputusan hukumnya tidak dipengaruhi oleh kecenderungan-kecenderungan pribadi, sehingga keputusan mereka itu benar benar berwibawa, meskipun terhadap para penguasa itu sendiri. Putusan mereka tidak saja berlaku atas rakyat biasa,  bahkan juga berlaku atas penguasa  sendiri. Dari  sudut lain, khalifah sendiri selalu mengawasi keputusan yang mereka keluarkan, di samping adanya pemecatan bagi siapa yang berani melakukan penyelewengan.

Pada masa ini, lahir pemikiran tentang adanya pencatatan keputusan hukum. Adapun yang mula-mula mencatatnya adalah qodi’ Mesir di masa ke khalifahan Muawiyah yang bernama Salim Bin Atas. Pernah suatu kali terjadi sengketa harta pusaka (warisan) yang telah diputus, kemudian di lain waktu pihak-pihak yang berperkara itu menginkari keputusan itu, kemudian mereka mengulangi mengajukan perkara tersebut. Sesudah hakim memutuskan sekali lagi perkara itu, maka putusan tersebut dicatat serta dihimpun dalam buku khusus dan itu merupakan suatu keputusan yang pertama kali dibukukan.
     F.      Peradilan di Masa Bani Abbas dan Sesudahnya[14]
Di masa bani Abbas ini, peradaban telah semakin meluas, dan berbagai kasus telah terjadi akibat dari semakin berkembangnya ilmu pengetahuan, perekonomian dan kemasyarakatan, maka membawa akibat pula saling berselisih dan berbeda pendapat antara ahli-ahli fiqh, dan timbullah mazhab-mazhab sehingga timbul pula taqlid, yang hal ini mempengaruhi juga terhadap keputusan-keputusan qodi’ di antara perubahan-perubahan yang terjadi pada masa ini adalah:
a. Lemahnya ruh ijtihad hakim dalam menetapkan hukum, lantaran telah berkembang mazhab empat. Karenanya, hakim diminta memutuskan perkara sesuai dengan mazhab yang dianut oleh penguasa, atau oleh masyarakat setempat. Di Iraq hakim memutuskan perkara dengan mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Mghribi hakim memutusakan perkara dengan mazhab Malik, dan di Mesir dengan mazhab Syafi’i. Dan apabila dua yang berperkara yang bukan dari pengikut mazhab yang termasyhur di negeri itu, maka ditunjuklah seorang qodi’ yang akan memutus perkara itu sesuai dengan mazhab yang diikuti kedua belah pihak yang berperkara.
b. Para hakim memutuskan perkara di bawah pengaruh kekuasaan pemerintah. Dalam masa ini ada sebagian khalifah Abbasiyah yang ikut campur dalam penanganan perkara oleh qodi’, sehingga hal ini menyebabkan menjauhnya fuqoha’ dari jabatan ini (hakim).
c. Lahirnya istilah atau kedudukan Qodi’ Al Qudot, lembaga tersebut berhak mengangkat dan melakukan pengawasan terhadap tugas-tugas hakim, kekuasaan peradilan semakin meluas meliputi kekuasaan kepolisin, kepegawaian, baitul maal, dan mata uang. Qodi’ qudot ini berkedudukan di ibukota negara. Dialah yang mengangkat hakim-hakim di daerah. Qodi’ qudot yang pertama ialah Al Qodi’ Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ibrahim, penyusun kitab Al Kharaj. Hal ini terjadi di masa Harun Al Rasyid, yang memang sangat memuliakan Abu Yusuf dan memperhatikan keadaan hakim-hakim.

Pada masa ini barulah peradilan disusun menjadi instansi tersendiri, dengan ini maka hakim hakim itu mempunyai daerah-daerah tertentu di bawah pengawasan Qodi’ qudho yang mengatur lembaga peradilan ini. Kemudian di waktu daerah-daerah Islam satu demi satu melepaskan diri dari pemerintahan Baghdad, maka di tiap-tiap daerah itu diangkat pula Qodi’ qudot.
                 Kewenangan hakim di masa ini di samping memperhatikan urusan-urusan perdata, juga menyelasaikan urusan-urusan waqaf dan menunjukkan kurator untuk anak-anak yang di bawah umur. Bahkan kadang-kadang hakim-hakim ini juga menangani  urusan-urusan kepolisian, penganiayaan yang dilakukan penguasa, qishas, hisbah, pemalsuan mata uang dan baitul maal.
   G.    Tujuan peradilan dalam islam
Dasar dibentuknya Peradilan memiliki 3 prinsip yaitu:
1.Bahwa penerapan hukum-hukum Islam dalam setiap kondisi adalah wajib.
2.Bahwa dilarang mengikuti syari’ah lain selain Islam.
3.Syari’ah selain Islam adalah batil (taghut).
Dengan kerangka seperti ini, sistem Peradilan Negara Islam dijalankan dan Berdasarkan pemahaman ini maka definisi Peradilan dibangun berdasarkan syari’ah sehingga definisi dan tujuan Peradilan adalah memberikan putusan-putusan yang sah untuk menetapkan berbagai pendapat yang muncul terhadap hukum Allah dalam berbagai situasi, dengan kewenangan untuk memaksa mereka. peradilan Islam mempunyai tujuan pokok :
a. Mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa.
b. Menetapkan sanksi dan menerapkan kepada para pelaku  perbuatan yang melanggar hukum.
Secara filosofis peradilan agama dibentuk dan dikembangkan untuk menegakkan hukum dan keadilan dalam pergaulan hidup manusia, khususnya dikalangan orang-orang beragama islam dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasaiat, hibah, wakaf, dan shadaqah.[15]













BAB III
ANALISIS PEMAKALAH
PERKEMBANGAN PERADILAN ISLAM DI INDONESIA
Hukum islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya agama Islam yang dibawa oleh para saudagar Muslim dari Timur Tengah. Seminar masuknya islam keindonesia yang diselenggarakan di medan tahun 1963 menyimpulkan bahwa islam masuk ke indonesia sejak abad ke-7. sebelum islam masuk ke indonesia, hukum yang berlaku di indonesia adalah hukum yang berlaku di dikalangan  masyarakat adalah hukum adat masing-masing yang sangat majemuk. Daerah pertama kali didatangi oleh saudagar muslim itu adalah pesisir sumatera utara dengan terbentuknya komunitas muslim pertama di peureulak aceh timur.
Pada awal masa islam masuk ke indonesia, komunitas islam sangat sedikit dan pemeluk islam masih belum mengetahui tentang hal-hal yang berhubungan dengan hukum islam. Bila timbul permasalahan, mereka menunjuk seseorang yang dipandang ahli untuk menyelesaikannya. Apapun keputusan yang akan dijatuhkan oleh orang yang ditunjuk itu keduanya harus taat untuk mematuhinya.[16] Cara seperti ini disebut tahkim. Tradisi ini merupakan cikal bakal peradilan agama di Indonesia. Orang yang ditunjuk sebagai hakim itu disebut muhakkam yang bertuhas untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang timbul diantara mereka. Pada awal datang islam ke indonesia, muhakkam ini adalah orang yang menguasai ilmu pengetahuan secara luas yang dalam kehidupan sehari-hari disebut ulama.
Setelah agama islam berakar dalam mayarakat, peranan ulama sangat menonjol. Mereka bertinadak sebagai guru dan pengawal hukum islam.[17] Setelah terbentuknaya kerajaan-kerajaan islam di indonesia  kelompok masyarakat  sudah teratur, jabatan hakim atau qadli dapat dilakukan secara pemilihan dan bai’at oleh ahlul halli wal ‘aqdi yakni pengangkatan atas seseorang yang dipercaya oleh majelis atau kumpulan orang-orang terkemuka dalam masyarakat. Sedang dalam suatu negara yang berpemerintahan, susunan jabatan tersebut dapat dilaksanakan dengan pemberian tauliyah yakni pemberian kekuasaan dari penguasa
Sultan Malikus Shaleh dari Samudera Pasai merupakan raja Islam pertama yang memberikan bentuk tauliyah kepada hakim atau qadli dalam pelaksanaan hukum Islam. Seiring perkembangan Islam maka hakim yang melaksanakan peradilan diangkat oleh Sultan atau Imam atau Raja.[18]
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Peradilan Agama mendapat pengakuan secara resmi.Pada tahun 1882 pemerintah kolonial mengeluarkan Staatsblad No.152 yang merupakan pengakuan resmi terhadap eksistensi Peradilan Agama dan hukum Islam di Indonesia.
Karena Staatsblad ini tidak berjalan efektif dan karena pengaruh teori reseptie, maka pada tahun 1937 keluarlah staatsblad 1937 No. 116.Staatsblad ini mencabut wewenang yang dipunyai oleh Peradilan Agama dalam persoalan waris dan masalah – masalah lain yang berhubungan dngan harta benda, terutama tanah.Sejak itulah kompetensi Peradilan Agama hanya pada masalah perkawinan dan perceraian.Sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, bahwa Peradilan Agama pada masa ini tidak dapat melaksanakan keputusannya sendiri, melainkan harus dimintakan pegukuhan dari Peradilan Negeri.
Pada tahun 1942 indonesia diduduki oleh Jepang. Dimasa penjajahan Jepang tidak ada perubahan yang berarti menyangkut Peradilan Agama. Sampai Jepang kalah perang dan Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya.[19]
Setelah  Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, atas usul Menreri Agama yang disetjui Menteri Kehakiman, pemerintah menetapkan bahwa pengadilan Agama diserahkan dari kekuasaan Kementrian Kehakiman kepada Kementrian Agama dengan ketetapan Pemerintah Nomor 5 tanggal 25 Maret 1946. Pada masa ini tidak sada perubahan dari peradilan Agama di Indonesia yang ada hanya usaha-usaha pelestarian Peradilan Agama tersebut
Pada masa Pemerintah Orde Baru terlihat memberi perhatian terhadap peradilan agama sejak tahun 1970 dengan lahirnya UU. No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Dengan adanya UU ini kedudukan peradilan Agama menjadi sama dan sejajar dengan peradilan lainnya.[20]

Pengadilan agama di indonesia telah memiliki kedudukan yang sama dan sejajar dengan peradilan lainnya berdasarkan UU. No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
Setiap pengadilan memiliki jenis perkara masing-masing. Berdadarkan pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 Jenis perkara yang ditangani dalam pengadilan agama adalah tentang perkawinan, warisan, wasiat, hibah, perkara wakaf, dan sedekah. Setelah d amandemen dengan UU No. 3 Tahun 2006 ada tambahan wewenang yaitu zakat, infak, dan ekonomi syariah.
Dari semua kewenangan tersebut pengadilan agama hanya berwenang dalam hal perdata saja sedangkan dalam halam pidana tidak. Jika dilihat dari aspek Dasar dibentuknya Peradilan memiliki 3 prinsip yaitu: Bahwa penerapan hukum-hukum Islam dalam setiap kondisi adalah wajib. Bahwa dilarang mengikuti syari’ah lain selain Islam.  Dan Syari’ah selain Islam adalah batil (taghut). Hal ini jelas bahwa  penerapan hukum islam dalam setiap kondisi adalah wajib, jadi seharusnya dalam penerapan pengadilan agama membahas juga mengenai hukum pidana, jika hukum pidana berlandaskan syariah sejahteralah indonesia sebab sebaik-baiknya hukum adalah hukum syari’ah. Contoh di Arab saudi yang menerapkan hukum islam, bahkan undang-undang dasar negaranya adalah Al-Qur’an, terbukti mereka sejahtera dalam sistem pemerintahannya.
Contoh di indonesia sendiri di provinsi Nangreo Aceh Darussalam yang telah diresmikan Mahkamah Syari’ah pada tahun 2003. Dalam penerapannya terbukti di Aceh telah sejahtera karena dalam Peraturan Daerahnya dibentuk berdasar syari’at islam.
Dalam hal ini rakyat harus perperan aktif dalam hal penerapan hukum untuk mencapai kesejahteraan. Mengapa demikian, Karena unsur terbentuknya negara adalah adanya rakyat, jika rakyat berperan aktif dalam pembentukkan hukum, khususnya hukum syariah (baik perdata maupun pidana) dalam penerapannya pada pengadilan agama, tidak menutup kemungkinan indonesia akan sejahtera. Dengan cara apa, Cengan cara terlibat aktif dalam lembaga pemerintahan.











BAB IV
PENUTUP
SIMPULAN
    1.      Peradilan pra islam: peradilan pertama  telah terjadi sejak adanya manusia di dunia ini.  Nabi Adam as.,  pernah menjadi hakim dalam perselisihan antara kedua anaknya yaitu qobil dan habil. Namun adanya bentuk peradilan masa itu belum dikatakan peradilan yang dikenal sekarang. Kemudian hakim pertama adalah Nabi Daud as., dan Nabi Sulaiman as. Yang masing-masing telah diuji oleh Allah. Pada masa ini menjelaskan bahwa hakim harus mendengarkan pendapat dari kedua belah pihak sebelum memutus perkara dan mendengarkan para saksi
   2.      peradilan pra Rasulullah: bagi masyarakat Arab pada zaman jahiliah pra islam dapat dikatakan belum memiliki sistem peradilan yang mapan. Mereka tidak mempunyai badan yang menyusun undang-undang atau hukum tertentu untuk menyelesaikan permasalahan. Mereka pada umumnya berpegang pada tradisi dan adat istiadat yang berlaku dimasing-masing kabilah, dimana kepala-kepala kabilah yang memutuskan hukum. Dalam kasus pidana mereka menggunakan hukum balas dendam.
  3.      Pada masa  rasulullah Permasalahan semakin bertambah di masyarakat terutama masalah muamalah, dan setiap permasalahn yang terjadi senantiasa di hadapkan kepada Rasulullah SAW. Maka dari itu keadilan dipandang sebagai satu elemen yang sangat mendasar. meskipun proses peradilan masa Rasulullah berlangsung sangat sederhana, Rasulullah menyaratkan bahwa ketika terjadi persengketaan antara dua pihak yang saling mengklaim kebenaran sebuah keputusan tidak boleh diambil kecuali setelah sang pengambil keuputusan (qādli) mendengarkan pelaporan dari kedua belah pihak.  Kehidupan manusia pada setiap masanya selalu membutuhkan peradilan, sebab kalau tidak, maka kehidupan mereka akan menjadi liar. Maka peradilanlah yang akan berperan secara sempurna
   4.      Peradilan pada masa khulafaurrasyidin: Di dalam masa Khulafa’ Rasyidin, belum diadakan panitera dan bukuregister untuk mencatat putusan-putusan yang telah dilakukan, hal ini disebabkan karena qhodi’lah yang melaksanakan sendiri segala keputusan yang dikeluarkannya. Pada masa itu, hakim di samping bertindak sebagai pemutus perkara, juga bertindak sebagai pelaksana hukum agar dijalani.
   5.      Peradilan pada masa Bani Umayyah: Pada masa ini, lahir pemikiran tentang adanya pencatatan keputusan hukum. Adapun yang mula-mula mencatatnya adalah qodi’ Mesir di masa ke khalifahan Muawiyah yang bernama Salim Bin Atas. Pada masa ini kekkuasaan pengadilan telah dipisahkan dengan kekuasaan politik, dan telah terbentuk peradilan yang menangani kasus hisbah (pengawasan yang baik), serta sudah membentuk beberapa instansi dan memiliki tugas masing-masing
  6.    Peradilan pada masa Bani Abbas:  Pada masa ini barulah peradilan disusun menjadi instansi tersendiri, dengan ini maka hakim-hakim itu mempunyai daerah-daerah tertentu di bawah pengawasan Qodi’ qudho yang mengatur lembaga peradilan ini.
   7.   Tujuan peradilan islam adalah memberikan putusan-putusan yang sah dalam  Mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa dan Menetapkan sanksi dan menerapkan kepada para pelaku  perbuatan yang  melanggar hukum.








DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Ridha.  Jurnal pemikiran hukum dan hukum islam. 2015
Ahmad Ridha.  Jurnal pemikiran hukum dan hukum islam. :STAIN Kudus 2015
Alaidin Koto. Sejatrah Peradilan Islam. Jakarta: PT RAJAGRAFINDO PERSADA. 2011
Basiq Djalil.  peradilan islam. Jakarta : Amzah 2012
Cik Hasan Basri, Peradilan Islam dalam Tatanan  masyarakat Indonesia. Bandung : PT. Remaja Rossdakarya 2000
Departemen agama RI. Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahannya. Jakarta: PT. Syamil Cipta Media. 2007



[1] Alaidin Koto. Sejarah Peradilan Islam. (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2011). Hlm. 17
[2] Ibid. Alaidin Koto. Hlm 17-22
[3] Ibid. Alaidin Koto. Hlm. 23-24
[4] Ibid. Alaidin Koto. Hlm. 29-31
[5] Ibid. Alaidin Koto. Hlm. 37-38
[6] (QS. Al-Maidh:49).Departemen Agama RI. 2007. Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahannya. Hlm.116
[7] Basiq Djalil, peradilan islam.( Jakarta : Amzah, 2012 ) hal 9
[8] Ibid. Badiq Djali. Hlm. 137
[9] Ibid. Alaidin Koto. Hlm. 50-55
[10] Ahmad Ridha.  Jurnal pemikiran hukum dan hukum islam.(Jawa Tengah :STAIN Kudus, 2015). Hlm. 22-23

[11] Ibid. Rasyid Ridha. Hlm. 23-24
[12] Ibid. Rasyid Ridha. Hlm. 26
[13] Ibid. Rasyid Ridha. Hlm. 27-29
[14] Ibid. Rasyod Ridha. Hlm. 29-31
[15] Cik Hasan Basri, Peradilan Islam dalam Tatanan  masyarakat Indonesia. ( Bandung : PT. Remaja Rossdakarya, 2000) hal 41
[16]  Alaidin Koto. Sejarah peradilan islam. Hlm.193

[17] Alaidin Koto. Sejarah peradilan islam. Hlm.194
[18] Ahmad Ridha. 2015.  Jurnal pemikiran hukum dan hukum islam. Hlm. 313
[19] Ibid. Ahmad Ridha. Hlm. 326
[20]  Ibid. Ahmad Ridha. Hlm. 334

0 komentar:

Posting Komentar

 

Tintasetitik_dalam ilusi © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor