Jumat, 04 Mei 2018

QANUN MAHKAMAH SYARIAH ACEH

di Mei 04, 2018


“ QANUN DIMAHKAMAH SYARIAH ACEH ”

 

OLEH:
ELLA MIANTI (170202010)
DOSEN PENGAMPU : HERU SUNARDI. M.H.
PENGANTAR ILMU  HUKUM




 JURUSAN AHWAL SYAKHSIYYAH  
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2018




PENDAHULUAN

1.              LATAR BELAKANG MASALAH

Hukum mempuyai posisi yang sangat sentral, kita dapat mencatat bahwa hampir sebahagian besar sisi dari kehidupan kita telah diatur oleh hukum. Hukum juga merupakan fenomena sosial yang dapat kita temukan dalam perilaku manusia atau lebih tepatnya perilaku sosial. Prilaku  sosial muncul dan berkembang sebagai refleksi dari suatu kebudayaan. Oleh sebab itu, pembahasan tentang pranata sosial berkaitan dengan pembahasan tentang kebudayaan menusia sendiri. Menurut Kluchon adalah “ keseluruhan cara hidup mansia “, dalam bentuk konsep-konsep, gagasan, dan rencana (blue print) yang tersusun sebagai kombinasi antara reaksi manusia terhadap lingkungannya yang menjadi nilai dasar kehidupannya. Konsep, gagasan, psikologis, sosial, maupun kebutuhan-kebutuhan lainnya.prilaku dan tradisi itulah yang disebut dengan pranata sosial.
Dengan demikian, secara umum dapat dirumuskan bahwa pranata sosial adalah tradisi-tradisi dalam kehidupan manusia yang terbentuk sebagai kombinasi antara reaksi kemanusiaan atas tantangan dan dinamika lingkungannya, dengan etos yang menjadi nilai dasar kehidupannya. Bagi umat islam, nilai etos itu terbentuk dari ajaran-ajaran dasar yang dikembangakan Al-Qur’an dan al-Sunnah. [1]
Salah satu perubahan sosial di Indonesia sejak rezim orde baru, masa reformasi dan pasca reformasi ini dapat kita lihat dalam upaya Negarawan Indonesia mensikapi disintregritas yang timbul di Aceh sehingga pada akhirnya melahirkan Undang-Undang Nomor 11Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh.
UUPA Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh tersebut telah membawa perubahan besar tentang hukum yang berlaku di Aceh. Lahirnya qanun-qanun dan upaya pelaksanaan syariat Islam yang berwacana secara kaffah (utuh dan menyeluruh) telah memperpanjang rangkaian jenis hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini telah menunjukkan suatu fenomena tersendiri dalam perkembangan hukum yang berlaku di Indonesia. Berdasakan uraian di atas jika kita perhatikan dengan pandangan optik teoritis, khususnya melalui teori sistem bagaimanakah posisi syariat Islam yang berlaku di Aceh dalam kontek hukum Indonesia.[2]
2.              RUMUSAN MASALAH
Bagaimana kadudukan Qanun di Mahkamah Syariah di Aceh? Dan Bagamana bentuk Wewenang pelaksanaan Qanun di Mahkamah syariah di Aceh?






PEMBAHASAN
A.            PENGERTIAN ADAT dan HUKUM ADAT
Dilihat dari perkembangan hidup manusia, terjadinya hukum itu mulai dari pribadi manusia yang diberi Tuhan akal pikiran dan perilaku. Perilaku yang terus menerus dilakukan oleh perorangan yang menimbulkan kebiasaan pribadi. Kemudian apabila seluruh anggota masyarakat melakukan prilaku kebiasaan tadi, maka lambat laun kebiasaan itu menjadi adat dari masyarakat. Jadi, Adat adalah kebiasaan masyarakat dan kelompok-kelompok yang lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat dengsn dilengkapi oleh sanksi, sehingga menjadi Hukum Adat. Jadi. Hukum adat adalah adat yang diterima dan harus dilaksanakan dalam masyarakat yang bersangkutan. Untuk mempertahankan pelaksanaan hukum adat itu agar tidak terjadi penyimpangan atau pelanggaraan, maka diantara angota masyarakat ada yang bertugas mengawasinya. Dengan demikian lambat laun petugas-petugas adat ini menjadi kepala Adat.[3]
Istilah ‘Peradilan Adat’ atau ‘Pengadilan Adat’ tidak begitu lazim dipakai oleh masyarakat adat maupun masyarakat lokal lainnya. Istilah yang sering digunakan adalah ‘sidang adat’ atau ‘rapat adat’ dalam ungkapan khas masing-masing komunitas. Perdamaian dan keseimbangan merupakan muara akhir dari Peradilan Adat. Musyawarah menjadi metode untuk menemukan perdamaian. Pelaksanaan ritual tertentu, seperti makan bersama, upacara saling memaafkan atau mengucapkan ikrar serta pelaksanaan hukuman denda, dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan alam fisik dan sosial. Musyawarah dilakukan pada setiap tingkatan peradilan atau sidang adat. Perdamaian selalu diupayakan ketika sengketa dimulai diselesaikan di tingkat keluarga. Setiap keluarga dari pihak yang bersengketa selalu berusaha agar penyelesaian sengketa berakhir pada musyawarah keluarga. Jika tidak bisa diselesaikan dan akhirnya harus dibawa ke tingkat kampung, ini akan membuat malu para pihak keluarga, sebab perkaranya sudah diketahui oleh umum.
B.            KEDUDUKAN QANUN DIMAHKAMAH SYAR’IYAH ACEH
Pengertian Qanun sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikenal dengan nama: Kanun, yang artinya adalah: undang-undang[4], peraturan, kitab undang-undang, hukum dan kaidah. Adapun pengertian Qanun menurut kamus Bahasa Arab adalah: undang-undang, kebiasaan atau adat. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian dari Qanun adalah : suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum yang berlaku di suatu daerah (dalam hal ini di NAD).
Di masyarakat Aceh, penyebutan Qanun terhadap suatu aturan hukum atau untuk penamaan suatu adat telah lama dipakai dan telah menjadi bagian dari kultur adat dan budaya Aceh. Aturan-aturan hukum dan juga adat yang dikeluarkan oleh Kerajaan Aceh banyak yang dinamakan dengan Qanun.
Qanun biasanya berisi aturan-aturan syariat Islam yang telah beradaptasi menjadi adat istiadat Aceh. Ketentuan tentang Qanun terdapat di dalam UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yaitu:
1.      Qanun Aceh adalah : peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.
2.       Qanun kabupaten/kota adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat kabupaten/kota di Aceh.
Dari ketentuan kedua Pasal di atas, terlihat bahwa maksud dari Qanun dapat disamakan dengan Peraturan Daerah di Provinsi lain di Indonesia, tetapi pada dasarnya pemahaman Qanun yang disamakan dengan Perda sesungguhnya tidaklah tepat.
Qanun merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di NAD yang isinya harus berlandaskan pada syariat Islam yang menjadi kekhususan dari NAD, hal ini berbeda dengan daerah lain yang aturan-aturan dalam Perdanya tidak harus berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Selain itu berbeda dengan Perda lainnya di Indonesia, aturan-aturan Qanun dapat berisikan aturan-aturan hukum tentang hukum acara material dan formil di Mahkamah Syar’iah.
            Jadi pengertian Qanun tidaklah sama dengan Perda, karena isi dari Qanun haruslah berlandaskan pada asas keislaman atau tidak boleh bertentangan dengan syari’at Islam. Tetapi dalam hal hierarki hukum di Indonesia, sesuai dengan ketentuan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kedudukan Qanun dipersamakan dengan Perda di daerah lainnya. Menurut UU No.10 Tahun 2004 disebutkan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundangundangan adalah sebagai berikut : UUD RI Tahun 1945, UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. Pada penjelasan Pasal 7 disebutkan bahwa: “Termasuk dalam jenis peraturan daerah provinsi adalah Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua”. [5]
Jadi, berdasarkan ketentuan di atas, maka kedudukan Qanun diakui dalam hierarki perundang-undangan Indonesia dan dipersamakan dengan Perda. Pemahaman dalam UU No. 10 Tahun 2004 ini dapat saja diterima dalam hal kedudukan Qanun.

C.            WEWENANG PELAKSANAAN QANUN DI MAHKAMAH SYAR’IAH ACEH
Keberadaan Mahkamah Syar’iyah dalam sistem pemerintahan di Aceh adalah implikasi dari pengakuan tentang kekhususan dan keistimewaan Aceh, yang menetapkan Syariat Islam sebagai karakter istimewa serta spirit hidup rakyat Aceh, sebagaimana dinyatakan dalam huruf (c) Konsideran Menimbang dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh; “bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan Syari‟at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerde-kaan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Dalam hal ini ada suatu wewenang dalam mahkamah syariah diaceh. Kewenangan tersebut untuk melaksankan tugas pokok pengadilan agama (Mahkamah Syar’iyah di Aceh),antara lain:
      1.       Kewenangan relatif.
Kewenangan relatif atau kompetensi relatif yaitu kewenangan untuk menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya, didasarkan kepada wilayah hukum pengadilan mana tergugat bertempat tinggal. Kewenangan relatif ini mengatur pembagian kekuasaan pengadilan yang sama, misalnya antara Pengadilan Agama Banjarnegara dengan Pengadilan Agama Purbalingga, sehingga untuk menjawab apakah perkara ini menjadi kewenangan Pengadilan Agama Banjarnegara ataukah Pengadilan Agama Purbalingga, didasarkan kepada wilayah hukum mana Tergugat bertempat tinggal. Dalam bahasa Belanda kewenangan relatif ini disebut dengan “distributie van rechtsmacht” . Atas dasar ini maka berlakulah asas “actor sequitur forum rei”. Namun demikian ada penyimpangan dari asas tersebut di atas, yaitu khusus perkara gugat cerai bagi yang beragama Islam, maka gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan Agama di mana Penggugat bertempat tinggal. Hal ini adalah hukum acara khusus yang diatur dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 sehingga berlaku asas “lex specialis derogat legi generalis” artinya aturan yang khusus dapat mengalahkan aturan yang umum.
       2.      Kewenangan mutlak
Kewenangan mutlak atau kompensasi absolut adalah wewenang badan peradilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain. Kewenangan mutlak ini untuk menjawab pertanyaan, apakah perkara tertentu, misalnya sengketa ekonomi syari’ah, menjadi kewenangan Pengadilan Negeri ataukah Pengadilan Agama. Dalam bahasa Belanda kewenangan mutlak disebut “atribute van rechtsmacht” atau atribut kekuasaan kehakiman.[6]
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 menegaskan, “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu.” Memperhatikan ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa dengan kewenangan tersebut dimungkinkan untuk menyelesaikan perkara pidana.
Perluasan kewenangan tersebut sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat muslim. Seperti diungkapkan Eugen Ehrlich bahwa “…hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup di masyarakat.” Ehrlich juga menyatakan bahwa, hukum positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat, dalam istilah antropologi dikenal sebagai pola-pola kebudayaan (culture pattern).[7]
Saat ini ada 5 (lima) qanun hukum materil yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Syar’iyah di bidang pidana (jinayah), yaitu:
      1.      Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’ah Islam bidang’ Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Dalam Qanun ini ada lima macam perbuatan yang dipandang sebagai jarimah (tindak pidana) yakni:
a.       Penyebaran paham atau aliran sesat (bidang ‘aqidah).
b.      Tidak shalat jum’at tiga kali berturut-turut tanpa ”uzur syar’i” (bidang ibadah).
c.       Menyediakan fasilitas/peluang kepada orang Muslim yang tanpa ’uzur untuk tidak berpuasa (bidang ibadah).
d.      Makan dan atau minum di tempat umum pada siang hari Ramadhan (bidang ibadah).
e.       Tidak berbusana Islami (bidang syiar Islam). 
     2.      Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Larangan Khamar dan sejenisnya.
     3.      Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Larangan Maisir (judi).
     4.      Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Larangan Khalwat (mesum).
    5.      Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat, juga terdapat beberapa perbuatan yang dikategorikan sebagai jarimah (tindak pidana) yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah mengadilinya. Perbuatan dimaksud adalah sebagai berikut:
a.       Tidak membayar zakat setelah jatuh tempo.
b.      Membayar zakat tidak menurut yang sebenarnya;
c.       Memalsukan surat Baitul Mal;
d.      Melakukan penggelapan zakat atau harta agama lainnya;
e.       Petugas Baitul Mal yang menyalurkan zakat secara tidak sah. [8]
Jadi, kewenangan Mahkamah syar’iyah di Aceh didasarkan atas syariat Islam dalam sistem huklum Nasional, yang diatur lebih lanjud dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.[9]


PENUTUP
SIMPULAN
Mahkamah Syar’iyah di Aceh terbentuk setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 yang selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Pemerintahan Aceh men-jelaskan bahwa kewenangan untuk me-ngatur dan membuat perangkat perundang-undangan dalam bidang kehakiman merupakan kewenangan Pemerintah Pusat.
Keberadaan Mahkamah Syar’iyah dalam sistem pemerintahan di Aceh adalah implikasi dari pengakuan tentang kekhususan dan keistimewaan Aceh, yang menetapkan Syariat Islam sebagai karakter istimewa serta spirit hidup rakyat Aceh, sebagaimana dinyatakan dalam huruf (c) Konsideran Menimbang dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh; “bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan Syari‟at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerde-kaan Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Kewenangan Mahkamah syar’iyah di Aceh didasarkan atas syariat Islam dalam sistem huklum Nasional, yang diatur lebih lanjud dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam













DAFTAR REFRENSI
Fauzan Januri. Pengantar Hukum Islam dan Pranata Sosial. Bandung: Pustaka Setia. 2013
Tolib Setiady. Intisari Hukum Adat Inonesia dalamKajian Kepustakaan. Bandung: Alfabeta. 2013
Jum Anggraini. Kedudukan qanun dalam sisitem pemerintahan Daerah dan Mekanisme pengawasannya. Jakarta:Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa. 2011
Efa Laela Fakhriah. Kewenangan Mahkamah syar’iyah di Aceh dihubungkan dengan sistem peradilan diIndoneisa. Bandung: Harian Serambi. 2013
Hasan Basri. Kedudukan syariat Aceh dalam sistem Hukum Indonesia. Malikussaleh: Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh. 2011
Topo Santoso. Membumikan hukum pidana islam. Jakarta: Gema Insani. 2003


[1] Dede Rosyada, hukum islam dan pranata sosial.(Jakarta:PTRajaGrafindo Persada,1999).hal 163
[2] Hasan Basri,Kedudukan Syariat Aceh dalam sistem Hukum Indonesia. Malikussaleh: fakultas Hukum Universitas Malikussaleh. 2011
[3] Tolib Setiady,intisari hukum adat indonesia dalam kajain kepustakaan.(Bandung:alfabeta,2013) hal.1
[4] Fauzan Januri, pengantar hukum islam dan panata sosial. (Bandung: pustaka setia, 2013) hal 31
[5] Jum Anggriani, kedudukan Qanun dalam sistem pemerintahan Daerah dan mekanisme pengawasannya.( Jakarta selatan: fakultas hukum universitas tama jagakarsa, 2011) 327
[6] Efa Laela fahkriah,kewenangan mahkamah syari’yah diaceh dihubungkan dengan peradilan diindonesia.(Bandung:harian seramabi indonesia.2013) hal 119
[7] Ibid hal 120
[8] Ibid hal 122
[9] Topo Santoso. Membumikan hukum pidana islam. Jakarta: Gema Insani.2003. hal 111

0 komentar:

Posting Komentar

 

Tintasetitik_dalam ilusi © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor