“ QANUN DIMAHKAMAH SYARIAH ACEH ”
OLEH:
ELLA MIANTI (170202010)
DOSEN PENGAMPU : HERU SUNARDI. M.H.
PENGANTAR ILMU HUKUM
JURUSAN AHWAL SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MATARAM
2018
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG MASALAH
Hukum
mempuyai posisi yang sangat sentral, kita dapat mencatat bahwa hampir
sebahagian besar sisi dari kehidupan kita telah diatur oleh hukum. Hukum juga
merupakan fenomena sosial yang dapat kita temukan dalam perilaku manusia atau
lebih tepatnya perilaku sosial. Prilaku sosial muncul dan berkembang sebagai refleksi
dari suatu kebudayaan. Oleh sebab itu, pembahasan tentang pranata sosial
berkaitan dengan pembahasan tentang kebudayaan menusia sendiri. Menurut Kluchon
adalah “ keseluruhan cara hidup mansia “, dalam bentuk konsep-konsep, gagasan,
dan rencana (blue print) yang tersusun sebagai kombinasi antara reaksi manusia
terhadap lingkungannya yang menjadi nilai dasar kehidupannya. Konsep, gagasan,
psikologis, sosial, maupun kebutuhan-kebutuhan lainnya.prilaku dan tradisi
itulah yang disebut dengan pranata sosial.
Dengan
demikian, secara umum dapat dirumuskan bahwa pranata sosial adalah
tradisi-tradisi dalam kehidupan manusia yang terbentuk sebagai kombinasi antara
reaksi kemanusiaan atas tantangan dan dinamika lingkungannya, dengan etos yang
menjadi nilai dasar kehidupannya. Bagi umat islam, nilai etos itu terbentuk
dari ajaran-ajaran dasar yang dikembangakan Al-Qur’an dan al-Sunnah. [1]
Salah
satu perubahan sosial di Indonesia sejak rezim orde baru, masa reformasi dan
pasca reformasi ini dapat kita lihat dalam upaya Negarawan Indonesia mensikapi
disintregritas yang timbul di Aceh sehingga pada akhirnya melahirkan
Undang-Undang Nomor 11Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh.
UUPA
Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh tersebut telah membawa perubahan
besar tentang hukum yang berlaku di Aceh. Lahirnya qanun-qanun dan upaya
pelaksanaan syariat Islam yang berwacana secara kaffah (utuh dan menyeluruh)
telah memperpanjang rangkaian jenis hukum yang berlaku di Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Hal ini telah menunjukkan suatu fenomena tersendiri dalam
perkembangan hukum yang berlaku di Indonesia. Berdasakan uraian di atas jika
kita perhatikan dengan pandangan optik teoritis, khususnya melalui teori sistem
bagaimanakah posisi syariat Islam yang berlaku di Aceh dalam kontek hukum
Indonesia.[2]
2.
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana
kadudukan Qanun di Mahkamah Syariah di Aceh? Dan Bagamana bentuk Wewenang
pelaksanaan Qanun di Mahkamah syariah di Aceh?
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN ADAT dan HUKUM ADAT
Dilihat dari perkembangan hidup manusia, terjadinya hukum itu mulai
dari pribadi manusia yang diberi Tuhan akal pikiran dan perilaku. Perilaku yang
terus menerus dilakukan oleh perorangan yang menimbulkan kebiasaan pribadi.
Kemudian apabila seluruh anggota masyarakat melakukan prilaku kebiasaan tadi,
maka lambat laun kebiasaan itu menjadi adat dari masyarakat. Jadi, Adat adalah
kebiasaan masyarakat dan kelompok-kelompok yang lambat laun menjadikan adat itu
sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat dengsn
dilengkapi oleh sanksi, sehingga menjadi Hukum Adat. Jadi. Hukum adat adalah
adat yang diterima dan harus dilaksanakan dalam masyarakat yang bersangkutan.
Untuk mempertahankan pelaksanaan hukum adat itu agar tidak terjadi penyimpangan
atau pelanggaraan, maka diantara angota masyarakat ada yang bertugas
mengawasinya. Dengan demikian lambat laun petugas-petugas adat ini menjadi
kepala Adat.[3]
Istilah ‘Peradilan Adat’ atau ‘Pengadilan Adat’ tidak begitu lazim
dipakai oleh masyarakat adat maupun masyarakat lokal lainnya. Istilah yang
sering digunakan adalah ‘sidang adat’ atau ‘rapat adat’ dalam ungkapan khas
masing-masing komunitas. Perdamaian dan keseimbangan merupakan muara akhir dari
Peradilan Adat. Musyawarah menjadi metode untuk menemukan
perdamaian. Pelaksanaan ritual tertentu, seperti makan bersama,
upacara saling memaafkan atau mengucapkan ikrar serta
pelaksanaan hukuman denda, dimaksudkan untuk mengembalikan
keseimbangan alam fisik dan sosial. Musyawarah dilakukan pada
setiap tingkatan peradilan atau sidang adat. Perdamaian
selalu diupayakan ketika sengketa dimulai diselesaikan di
tingkat keluarga. Setiap keluarga dari pihak yang bersengketa
selalu berusaha agar penyelesaian sengketa berakhir pada
musyawarah keluarga. Jika tidak bisa diselesaikan dan akhirnya
harus dibawa ke tingkat kampung, ini akan membuat malu para pihak
keluarga, sebab perkaranya sudah diketahui oleh umum.
B.
KEDUDUKAN QANUN DIMAHKAMAH SYAR’IYAH ACEH
Pengertian Qanun sendiri
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikenal dengan nama: Kanun, yang artinya
adalah: undang-undang[4],
peraturan, kitab undang-undang, hukum dan kaidah. Adapun pengertian Qanun menurut
kamus Bahasa Arab adalah: undang-undang, kebiasaan atau adat. Jadi dapat
disimpulkan bahwa pengertian dari Qanun adalah : suatu peraturan
perundang-undangan atau aturan hukum yang berlaku di suatu daerah (dalam hal
ini di NAD).
Di masyarakat Aceh,
penyebutan Qanun terhadap suatu aturan hukum atau untuk penamaan suatu
adat telah lama dipakai dan telah menjadi bagian dari kultur adat dan budaya
Aceh. Aturan-aturan hukum dan juga adat yang dikeluarkan oleh Kerajaan Aceh
banyak yang dinamakan dengan Qanun.
Qanun
biasanya berisi aturan-aturan syariat Islam yang
telah beradaptasi menjadi adat istiadat Aceh. Ketentuan tentang Qanun terdapat
di dalam UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yaitu:
1. Qanun Aceh adalah : peraturan perundang-undangan sejenis
peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan
kehidupan masyarakat Aceh.
2. Qanun kabupaten/kota
adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah kabupaten/kota
yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat
kabupaten/kota di Aceh.
Dari ketentuan kedua
Pasal di atas, terlihat bahwa maksud dari Qanun dapat disamakan dengan
Peraturan Daerah di Provinsi lain di Indonesia, tetapi pada dasarnya pemahaman Qanun
yang disamakan dengan Perda sesungguhnya tidaklah tepat.
Qanun
merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang
diberlakukan di NAD yang isinya harus berlandaskan pada syariat Islam yang
menjadi kekhususan dari NAD, hal ini berbeda dengan daerah lain yang
aturan-aturan dalam Perdanya tidak harus berlandaskan ajaran-ajaran Islam.
Selain itu berbeda dengan Perda lainnya di Indonesia, aturan-aturan Qanun dapat
berisikan aturan-aturan hukum tentang hukum acara material dan formil di
Mahkamah Syar’iah.
Jadi pengertian Qanun tidaklah
sama dengan Perda, karena isi dari Qanun haruslah berlandaskan pada asas
keislaman atau tidak boleh bertentangan dengan syari’at Islam. Tetapi dalam hal
hierarki hukum di Indonesia, sesuai dengan ketentuan UU No. 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kedudukan Qanun dipersamakan
dengan Perda di daerah lainnya. Menurut UU No.10 Tahun 2004 disebutkan bahwa jenis
dan hierarki peraturan perundangundangan adalah sebagai berikut : UUD RI Tahun
1945, UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan
Presiden dan Peraturan Daerah. Pada penjelasan Pasal 7 disebutkan bahwa: “Termasuk
dalam jenis peraturan daerah provinsi adalah Qanun yang berlaku di
Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang
berlaku di Provinsi Papua”. [5]
Jadi, berdasarkan ketentuan di atas, maka kedudukan Qanun
diakui dalam hierarki perundang-undangan Indonesia dan dipersamakan dengan
Perda. Pemahaman dalam UU No. 10 Tahun 2004 ini dapat saja diterima dalam hal
kedudukan Qanun.
C.
WEWENANG PELAKSANAAN QANUN DI MAHKAMAH SYAR’IAH ACEH
Keberadaan Mahkamah Syar’iyah dalam
sistem pemerintahan di Aceh adalah implikasi dari pengakuan tentang kekhususan
dan keistimewaan Aceh, yang menetapkan Syariat Islam sebagai karakter istimewa
serta spirit hidup rakyat Aceh, sebagaimana dinyatakan dalam huruf (c)
Konsideran Menimbang dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh; “bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber
dari pandangan hidup yang berlandaskan Syari‟at Islam yang melahirkan budaya
Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi perjuangan dalam
merebut dan mempertahankan kemerde-kaan Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
Dalam hal ini ada suatu
wewenang dalam mahkamah syariah diaceh. Kewenangan tersebut untuk melaksankan
tugas pokok pengadilan agama
(Mahkamah Syar’iyah di Aceh),antara lain:
1.
Kewenangan relatif.
Kewenangan relatif atau kompetensi relatif yaitu kewenangan untuk
menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan suatu perkara yang
diajukan kepadanya, didasarkan kepada wilayah hukum pengadilan mana tergugat
bertempat tinggal. Kewenangan relatif ini mengatur pembagian kekuasaan
pengadilan yang sama, misalnya antara Pengadilan Agama Banjarnegara dengan
Pengadilan Agama Purbalingga, sehingga untuk menjawab apakah perkara ini
menjadi kewenangan Pengadilan Agama Banjarnegara ataukah Pengadilan Agama Purbalingga,
didasarkan kepada wilayah hukum mana Tergugat bertempat tinggal. Dalam bahasa
Belanda kewenangan relatif ini disebut dengan “distributie van rechtsmacht” .
Atas dasar ini maka berlakulah asas “actor sequitur forum rei”. Namun
demikian ada penyimpangan dari asas tersebut di atas, yaitu khusus perkara
gugat cerai bagi yang beragama Islam, maka gugatan dapat diajukan kepada
Pengadilan Agama di mana Penggugat bertempat tinggal. Hal ini adalah hukum
acara khusus yang diatur dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
sehingga berlaku asas “lex specialis derogat legi generalis” artinya
aturan yang khusus dapat mengalahkan aturan yang umum.
2.
Kewenangan mutlak
Kewenangan mutlak atau kompensasi absolut adalah wewenang badan
peradilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang mutlak tidak dapat
diperiksa oleh badan peradilan lain. Kewenangan mutlak ini untuk menjawab
pertanyaan, apakah perkara tertentu, misalnya sengketa ekonomi syari’ah,
menjadi kewenangan Pengadilan Negeri ataukah Pengadilan Agama. Dalam bahasa
Belanda kewenangan mutlak disebut “atribute van rechtsmacht” atau
atribut kekuasaan kehakiman.[6]
Pasal 2 Undang-Undang
Nomor 3 tahun 2006 menegaskan, “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku
kekuasaaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara tertentu.” Memperhatikan ketentuan tersebut, dapat dipahami bahwa
dengan kewenangan tersebut dimungkinkan untuk menyelesaikan perkara pidana.
Perluasan kewenangan
tersebut sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat,
khususnya masyarakat muslim. Seperti diungkapkan Eugen Ehrlich bahwa “…hukum
yang baik adalah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup di masyarakat.” Ehrlich juga menyatakan bahwa, hukum
positif hanya akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam
masyarakat, dalam istilah antropologi dikenal sebagai pola-pola kebudayaan (culture
pattern).[7]
Saat ini ada 5 (lima)
qanun hukum materil yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Syar’iyah di
bidang pidana (jinayah), yaitu:
1.
Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari’ah Islam
bidang’ Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Dalam Qanun ini ada lima macam
perbuatan yang dipandang sebagai jarimah (tindak pidana) yakni:
a.
Penyebaran paham atau aliran sesat (bidang ‘aqidah).
b.
Tidak shalat jum’at tiga kali berturut-turut tanpa ”uzur
syar’i” (bidang ibadah).
c.
Menyediakan fasilitas/peluang kepada orang Muslim yang tanpa ’uzur
untuk tidak berpuasa (bidang ibadah).
d.
Makan dan atau minum di tempat umum pada siang hari Ramadhan
(bidang ibadah).
e.
Tidak berbusana Islami (bidang syiar Islam).
2.
Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Larangan Khamar dan sejenisnya.
3.
Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Larangan Maisir (judi).
4.
Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Larangan Khalwat (mesum).
5.
Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat, juga terdapat
beberapa perbuatan yang dikategorikan sebagai jarimah (tindak pidana)
yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah mengadilinya. Perbuatan dimaksud
adalah sebagai berikut:
a.
Tidak membayar zakat setelah jatuh tempo.
b.
Membayar zakat tidak menurut yang sebenarnya;
c.
Memalsukan surat Baitul Mal;
d.
Melakukan penggelapan zakat atau harta agama lainnya;
e.
Petugas Baitul Mal yang menyalurkan zakat secara tidak sah.
[8]
Jadi, kewenangan Mahkamah syar’iyah di Aceh didasarkan
atas syariat Islam dalam sistem huklum Nasional, yang diatur lebih lanjud
dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.[9]
PENUTUP
SIMPULAN
Mahkamah
Syar’iyah di Aceh terbentuk setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2001 yang selanjutnya diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh. Pasal 7 Ayat (2) Undang-Undang Pemerintahan Aceh
men-jelaskan bahwa kewenangan untuk me-ngatur dan membuat perangkat
perundang-undangan dalam bidang kehakiman merupakan kewenangan Pemerintah
Pusat.
Keberadaan
Mahkamah Syar’iyah dalam sistem pemerintahan di Aceh adalah implikasi dari
pengakuan tentang kekhususan dan keistimewaan Aceh, yang menetapkan Syariat
Islam sebagai karakter istimewa serta spirit hidup rakyat Aceh, sebagaimana
dinyatakan dalam huruf (c) Konsideran Menimbang dari Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh; “bahwa ketahanan dan daya juang tinggi
tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan Syari‟at Islam yang
melahirkan budaya Islam yang kuat, sehingga Aceh menjadi daerah modal bagi
perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerde-kaan Negara Kesatuan
Republik Indonesia”. Kewenangan Mahkamah
syar’iyah di Aceh didasarkan atas syariat Islam dalam sistem huklum Nasional,
yang diatur lebih lanjud dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
DAFTAR REFRENSI
Fauzan
Januri. Pengantar Hukum Islam dan Pranata Sosial. Bandung: Pustaka
Setia. 2013
Tolib
Setiady. Intisari Hukum Adat Inonesia dalamKajian Kepustakaan. Bandung:
Alfabeta. 2013
Jum
Anggraini. Kedudukan qanun dalam sisitem pemerintahan Daerah dan Mekanisme
pengawasannya. Jakarta:Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa. 2011
Efa
Laela Fakhriah. Kewenangan Mahkamah syar’iyah di Aceh dihubungkan dengan
sistem peradilan diIndoneisa. Bandung: Harian Serambi. 2013
Hasan
Basri. Kedudukan syariat Aceh dalam sistem Hukum Indonesia.
Malikussaleh: Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh. 2011
Topo
Santoso. Membumikan hukum pidana islam. Jakarta: Gema Insani. 2003
[1] Dede Rosyada, hukum
islam dan pranata sosial.(Jakarta:PTRajaGrafindo Persada,1999).hal 163
[2] Hasan Basri,Kedudukan
Syariat Aceh dalam sistem Hukum Indonesia. Malikussaleh: fakultas Hukum
Universitas Malikussaleh. 2011
[3] Tolib Setiady,intisari
hukum adat indonesia dalam kajain kepustakaan.(Bandung:alfabeta,2013)
hal.1
[4] Fauzan Januri, pengantar
hukum islam dan panata sosial. (Bandung: pustaka setia, 2013) hal 31
[5] Jum Anggriani,
kedudukan Qanun dalam sistem pemerintahan Daerah dan mekanisme pengawasannya.(
Jakarta selatan: fakultas hukum universitas tama jagakarsa, 2011) 327
[6] Efa
Laela fahkriah,kewenangan mahkamah syari’yah diaceh dihubungkan dengan
peradilan diindonesia.(Bandung:harian seramabi indonesia.2013) hal 119
[7] Ibid hal
120
[8] Ibid hal
122
[9] Topo Santoso. Membumikan
hukum pidana islam. Jakarta: Gema Insani.2003. hal 111
0 komentar:
Posting Komentar