Sabtu, 26 Mei 2018

penomena poligami dalam satu akad

di Mei 26, 2018


       “PERSPEKTIF HUKUM ISLAM MENGENAI POLIGAMI DALAM SATU AKAD”

Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling banyak dibicarakan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan jender.[1] Oleh sebab itu mari kita kaji makna poligami yang sebenarnya dan poligami perspektif hukum islam dan menurut Kompilasi Hukum Islam itu seperti apa.
Kata Poligami berasal dari bahasa yunani polus yang artinya “banyak” dan gamein yang artinya kawin. Jadi poligami artinya kawin banyak atau suami beristri banyak atau istri bersuami banyak pada saat yang sama. Secara terminologi terbagi dua, yakni poligini dan poliandri. poligini untuk suami yang beristri banyak, sedangkan poliandriadalah istri yang bersuami banyak (lebih dari seorang). Dalam bahasa arab disebut dengan ta’did al-zawjah (berbilang pasangan), dalam bahasa Indonesia disebut perpaduan dan dalam bahasa sunda disebut nyandung.[2]
Poligami memiliki akar sejarah yang cukup panjang, sepanjang sejarah peradaban manusia itu sendiri, sebelum islam datang ke Jazirah Arab, Poligami merupakan suatu yang telah mentradisi bagi masyarakat arab. Poligami pada masa itu dapat dikatakan sebagai poligami tidak terbatas dan  para istri pun tidak mendapatkan keadilan, karena bagi bangsa Jazirah arab suami sendiri yang menentukan sepenuhnya siapa yang paling ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas, para istri harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha untuk memperoleh keadilan.[3]
Kedatangan Islam pun tidak menghapus adanya poligami namun islam hanya membatasi kebolehan poligami hanya sampai empat orang istri dengan syarat yang begitu kuat, bahwa seorang suami (yang hendak berpoligami) harus mampu berlaku adil.
Dalam syariat Islam, Poligami  terdapat dalam surat An-Nisa : 3 yang mengatakan bahwa Untuk laki-laki yang merasa khawatir tidak dapat berlaku adil kepada perempuan yatim diprintahkan untuk menikahi perempuan yang disukai, dua orang istri atau tiga atau empat. Apabila tidak mampu berlaku adil, menikah hanya dengan seorang istri. Apabila masih belum mampu berbuat adil, menikahlah dengan hamba sehaya. Perbuatan demikian lebih baik dibandingkan dengan melakukan kezaliman.
Ditegaskan lagi dalam ayat berikutnya ayat 129 yang artinya  “ Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walapun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cendrung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu membiarkan yang lain terkatung-katung dan jika kamu mengadakanperbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan) maka sesungguhnya  Allah Maha pengampun lagi maha penyayang”.[4]
Dalam hukum islam, poligami merupakan suatu proses kepemimpinan seorang seorang laki-laki atau suami dalam rumah tangganya. Apabila seorang suami yang poligini tidak mampu melaksanakan keadilan dalam rumah tangga, ia tidak mungkin dapat melaksanakan keadilan jika menjadi pemimpin dimasyarakat. Jika seorang suami sewenang-wenang kepada istri-istrinya, sebagai pemimpin ia pun akan berbuat kezhaliman kepada rakyat. Dalam surat An- Nisa ayat 3 yang ditegaskan lagi dalam ayat 129 bukan masalah poligininya yang penting, melainkan masalah keadilan dalam melaksanakan kepemimpinan dalam rumah tangga yang terpenting. Dalam hal itulah syariat islam memberikan suatu gamaran bahwa poligami dapat dilakukan sejauh maungkin karena prinsip keadilannya. [5]
Menurut Khazin Nasuha (2000:174-175) yang dimaksud dengan keadilan dalam poligami adalah dalam soal materi, yakni adil dalam membagi waktu gilir, adil dalam memperlakukan kebutuhan sandang, pangan, papan, dan adil dalam memperlakukan kebutuahan batiniah istri-istrinya. Keadilan batiniah, menurut khazin Nasuha, tidak ditutut oleh syariat Islam karena masalahnya berada diluar kemampuan manusia. Rasulullah sendiri sangat cendrung rasa cintanya kepada Aisyah dibandingkan kepada istri yang lainnya. [6]
Didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga memuat mengenai poligami ang terdapat pada bagian ke IX dengan judul , “ Beristri lebih dari satu orang” ang diungkap dari pasal 55 sampai pasal 59.
Dalam pasal 55 dinyatakan bahwa :
      1.      Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang istri.
      2.      Syarat utama istri lebih dari satu orang, Suami harus mampu berlaku adil terhadap istri dan anak-anaknya.
     3.      Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari satu orang. [7]

Lebih lanjut dalam pasal 56 dijelaskan :
      1.      Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
     2.    Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat 1 dilakukan menurut tata cara sebagai mana diatur dalam Bab VIII PP No. 9/1975.
      3.     Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama tidak mempunyai ketentuan hukum.[8]

Dilanjutkan dengan pasal 57 bahwa Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila :
     1.      Istri tidak dapat menjalankan berkewajibannya sebagai istri.
     2.      Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
     3.      Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Yang terdapat pada pasal 57 Kompilasi Hukum Islam diatas, Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila terdapat alasan-alasan sebagaimana disebutkan dalam pasal 4 UU Perkawinan. Jadi, pada dasarnya Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikhendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.[9]

Selanjutnya pada pasal 59 dijelaskan :
Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristri lebih dari permohonan izin untuk beristri lebihdari satu oranng berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan pasal 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelajh memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan dipersidangan Pengadilan Agama dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.[10]
Dengan demikian terlepas dari kritik yang muncul berkenaan dengan beberapa persoalan poligami, dari beberapa penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa Perundang – undangan Perkawinan Indonesia tenang Poligami sebenarnya telah mengatur agar laki-laki yang melakukan poligami adalah laki-laki yang benar-benar (1) mampu secara ekonomi menghidupi dan mencukupi seluruh kebutuahan (baik sekunder-primer-tersier) keluarga (istri-istri dan anak-anak), serta (2) Mampu berlaku adil terhadap para istri dan anak-anaknya sehingga tidak ada yang disia-siakan. [11]
Mengenai pernikah dalam satu akad memang terdapat pada beberapa keterangan kitab, di antaranya dalam Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah XIV/351 :
( وجمع خمس ) في النكاح لا يحل لحر لقوله تعالى { فانكحوا ما طاب لكم من النساء } الآية { وقوله : صلى الله عليه وسلم لغيلان وقد أسلم وتحته عشر نسوة أمسك أربعا وفارق سائرهن } رواه ابن حبان والحاكم وصححاه... ( ولعبد ) ، ولو مكاتبا .( لا يحل جمع ثلاث ) لأنه على النصف من الحر ، وقد أجمع الصحابة على أنه لا ينكح أكثر من اثنتين رواه البيهقي عن الحكم بن عتيبة ، والمبعض كالعبد ( وهو ) أي : جمع الحر خمسا والعبد ثلاثا .( في عقد ) واحد ( بطل ) في الجميع إذ لا أولوية لإحداهن على الباقيات ، فإن نكحهن مرتبا بطل نكاح الزائد على العدد المعتبر .
Dan menikahi lima wanita tidak halal bagi pria merdeka berdasarkan firman Allah “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat” (4:3). Dan berdasarkan sabda Nabi pada sahabat Ghilaan setelah ia masuk islam dan ia memiliki sepuluh istri “Tahanlah yang empat dan ceraikan sisanya” (HR. Ibn Hibbaan dan Haakim)Dan tidak halal bagi pria sahaya menikahi tiga wanita karena ia separoh pria merdeka dan sesuai kesepakatan sahabat bahwa ia memang tidak boleh menikah lebih dari dua wanita (HR. Al-Baehaqy). (Keterangan dalam satu akad) maka batal nikah pria merdeka dan pria yang melebihi ketentuan diatas, bila dalam satu akad maka batal secara keseluruhannya karena tidak ada keistimewaan hukum dari masing-masing wanita yang mereka nikahi, bila akad nikahnya secara berturut-turut maka batal nikah mereka pada wanita yang melebihi ketentuan di atas.
Sebuah ibarah dalam kitab Syarh al-Bahjah al-Wardiyyah XIV/379 yang menerangkan lebih lanjut tentang praktik akad nikah dalam satu akad :
( قوله : في عقد واحد ) أما لو قال زوجتك بنتي بألف وزوجتك أمتي بمائة فقبل البنت ثم الأمة أو قبل البنت فقط صحت البنت جزما في الصورتين ، ولو قدمت الأمة في تفصيلهما إيجابا وقبولا صح نكاح البنت ، وكذا الأمة فيمن يحل له نكاحها إن قبل الحرة بعد صحة نكاح الأمة

(Keterangan dalam satu akad) sedangkan bila seorang wali berkata “aku nikahkan engkau dengan anak gadisku dengan mas kawin 1000 dan budak wanitaku dengan mas kawin 100” kemudian pria yang dinikahkan tersebut menerima nikah anak gadisnya dan setelahnya ia menerima wanita sahayanya, atau hanya menerima anak gadisnya maka yang sah secara pasti dalam dua contoh diatas pernikahan anak gadisnya, sedang bila budak wanita diperincikan pertama kali saat ijan qabul maka nikah anak gadisnya sah begitu juga wanita sahayanya bila ia dapat menerima dimerdekakan setelah sah nikahnya.
Hikmah Poligami
Islam memiliki risalah kemanusiaan luhur yang dibebankan kepada kaum muslimin untuk menerapkan dan menerapkan serta menyampaikannya kepada seluruh manusia. kaum muslimin tidak akan mampu mengemban risalah ini kecuali jika memiliki negara yang kuat, memiliki unsur-unsur penopang negara. semua itu bisa terlaksana  kecuali dengan banyaknya individu  dimana setiap sektor kegiatan kemusiaan terdapat banyak pekerja disana.
karena itu yang bilang, “Kemuliaan hanya bisa dicapai oleh kaum matoritas”. dan cara u ntuk capai tingkat mayoritas tidak lain adalah melalui pernikahan sesegera mungkin dari satu sisi dan menempuh langkah poligami disisi lain. Negara yang mengemban risalah sering kali menghadapi dampak jihad, yatu kehilangan individu dalam jumlah besar. Dengan demikian perlu adanya penjangan terhadap para janda dan anak-anak yatim, serta pasukan yang gugur dijalan Allah, tidak ada jalan lain untuk mengurus mereka dengan cara yang baik selain dengan menikahkan mereka selepas peperangan. Jumlah janda yang mengikat ini mengharuskan adanya poligami untuk menjamin adanya jumlah individu masyarakat muslim yang memadai. Jika tidak seperti itu akan menimbulkan penyimpangan dan tindakan-tindakan hina yang justru akan merusak masyarakat itu sendiri, meruntuhkan nilai-nilai moral, atau mereka akan menghabiskan sisa hidup dalam duka kemiskinan, sedihnya bhidup sendiri kehilangan semangat dan kekayaanseorang wanit ayang tidak ternilai.[12]
Pada dasarnya laki-laki telah di siapkan untuk aktivitas seksual sejak usia balig hingga usia senja,  berbeda dengan wanita yang tidak seperti itu selama masa haid dan nifas pasca persalinan. disamping pada kondisi-kondisi kehanmilan dan menyusui istri terkadang mandul tidak bisa memberi keturunan atau sakit yang tidak bisa lagi diharapkan sem buh sementara saat yang  bersamaan ia masih ingin meneruskan kehidupan berumah tangga dan si suami juaga memiliki keinginan untuk memiliki anak seperti itu juga dengna istri yang mengurus semjua hal dirumah.
kadang sebagian laki-laki memiliki gairah seksual yang tidak terpenuhi dengan satu istri saja terlebih dikawasan yang bersuhu panas. Dari pada mencari simpangan yang justru menggoyak moral ia dibolehkan untuk memuaskan hasrat yersebut melaui jalan yang halal dan legal secara syariat.[13]

DAFTAR PUSTAKA
Amiur Nuruddin, Hukum perdata Islam di Indonesia. Jakarta : Prenadamedia Group, 2016
Beni Ahmad Saebani, fiqh munakahat 2. Bandung : cv pustaka setia, 2010
Indra Laksana dkk, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid. Bandung : sygma examedia arkanleema, 2014
Sulaiman Al- Faifi, Ringkasan Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq. Jakarta Timur : Beirut Publishing, 2014



[1] Amiur Nuruddin, Hukum perdata Islam di Indonesia. (Jakarta : Prenadamedia Group, 2016) hal 156
[2] Beni Ahmad Saebani, fiqh munakahat 2.  (Bandung : cv pustaka setia, 2010) 151
[3] ibid Amiur Nuruddin, Hukum perdata Islam di Indonesia. (Jakarta : Prenadamedia Group, 2016) hal 156
[4] Indra Laksana dkk, Al-Qur’an Terjemah dan Tajwid. (Bandung : sygma examedia arkanleema, 2014) hal 99
[5] Ibid Beni Ahmad Saebani, fiqh munakahat 2.  (Bandung : cv pustaka setia, 2010) 152
[6] ibid hal 153
[7] Amir Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia. (Jakarta : Prenadamedia grup, 2016) hal 166
[8] ibid
[9] ibid hal 167
[10] ibid hal 168
[11] ibid hal 169
[12] Sulaiman Al- Faifi, Ringkasan Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq. (Jakarta Timur : Beirut Publishing, 2014) hal 482
[13] ibid hal 482

0 komentar:

Posting Komentar

 

Tintasetitik_dalam ilusi © 2010 Web Design by Ipietoon Blogger Template and Home Design and Decor